UPAH MINIMUM PROVINSI; SEKEDAR INDAH DI ATAS KERTAS

           Oleh; Darius Beda Daton, warga NTT

Opini - Setiap akhir tahun, seluruh provinsi di Indonesia akan mengumumkan informasi tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun berikutnya. Tahun ini, seluruh provinsi telah mengumumkan besaran UMP untuk tahun 2026. Tak terkecuali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada Selasa (23/12), Gubernur NTT mengumumkan 

kenaikan Upah Minimum Provinsi NTT Tahun 2026 sebesar  5,45%.  Provinsi NTT menaikkan UMP sedikit lebih tinggi ketimbang UMP beberapa daerah lain seperti Jogjakarta dan hampir sama dengan Provinsi Jawa Timur. 

Penetapan dilakukan melalui Keputusan Gubernur NTT Nomor 528/KEP/HK/2025 tanggal 19 Desember 2025 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2026, mengacu pada  Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan. Penentuan besaran UMP bukan dibuat asal-asalan.  Perhitungan UMP 2026 telah  mempertimbangkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi untuk mendekati Kebutuhan Hidup Layak (KHL) masyarakat NTT. Pun melibatkan dan 

berdasarkan hasil pembahasan bersama Dewan Pengupahan Provinsi NTT yang terdiri dari unsur serikat pekerja/buruh, unsur pengusaha (Apindo), unsur akademisi dan unsur birokrasi (OPD terkait). Angka yang disepakati bersama  untuk  Upah Minimum Provinsi NTT Tahun 2026 adalah sebesar Rp 2.455.898 atau mengalami kenaikan sebesar Rp126.929, (5,45%) dari UMP Tahun 2025 sebesar Rp2.328.969. UMP ini mulai berlaku pada 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2026. 

Diharapkan penetapan ini menjadi pedoman bagi seluruh pemberi kerja, baik di sektor pemerintah maupun swasta, agar melaksanakan ketentuan upah sesuai keputusan Gubernur. 

***

Bagaimana realitas kepatuhan pemberi kerja di NTT terhadap peraturan gubernur tentang besaran UMP setiap tahun? Jika mengacu pada  realitas tahun-tahun sebelumnya, keputusan UMP NTT masih sebatas formalitas dan tidak dinikmati sebagian besar pekerja.  Sebagian besar pemberi kerja kita tidak patuh. Juga tidak ada sanksi apa-apa yang diberikan kepada mereka. Padahal pemberi kerja yang tidak memenuhi UMP dapat dikenakan sanksi pidana atau denda serta pembatasan kegiatan usaha sesuai Pasal 81 angka 63 Undang-Undang Cipta Kerja (mengubah Pasal 185 ayat 1 UU Ketenagakerjaan). Akibatnya berbagai alasan dikemukakan pemberi kerja untuk tetap memberikan upah kepada pekerja dibawah UMP.  Pertengahan tahun ini, saya tercengang ketika mendapat banyak curhat dari para perawat yang mengabdi di rumah sakit swasta, rumah sakit pemerintah daerah, para dosen Perguruan Tinggi Swasta dan  para pekerja toko. Mereka curhat bahwa upah bulanan mereka masih jauh dari angka UMP yang ditetapkan gubernur. Bahkan ada yang upahnya hanya Rp.500.000/bulan.  Mereka sedih, jengkel, marah. Tapi tak punya daya untuk menyuarakan secara terbuka. Maklum, mereka bisa dipecat sewaktu-waktu jika berupaya memperjuangkan nasibnya secara terbuka. Pasca menerima semua curhat, saya segera koordinasi ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT dan Kota Kupang. Kepada dinas ketenagakerjaan saya minta agar para pengawas ketenagakerjaan memastikan bahwa sistem pengupahan pemberi kerja telah sesuai dengan peraturan gubernur. Tugas pemerintah menetapkan peraturan demi menjaga dan melindungi  hak-hak pekerja.  Saya juga minta Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk melindingi seluruh anggotanya. Upaya koordinasi ini rupanya berjalan baik dan ditindaklanjuti. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT dan Kota Kupang kemudian melakukan monitoring ke sejumlah rumah sakit dan perguruan tinggi swasta guna memastikan penerapan UMP. Meskipun mungkin penegakannya bagi yang terbukti melanggar masih dalam proses. Bahkan PPNI NTT melakukan survei kepada seluruh anggotanya dengan hasil yang mengaketkan kita. 

 Hasil survei besaran gaji perawat pada bulan September 2025 menunjukan bahwa gaji pokok perawat yang bekerja di faskes swasta dan pemerintah daerah di NTT, mayoritas berada pada kelompok penghasilan Rp 500.000–Rp 1.000.000 sebanyak 31,2%. Sebanyak 22,8% responden melaporkan menerima gaji pokok yang diterima setiap bulan berada pada kisaran Rp 2.000.000–Rp 2.500.000, disusul oleh kelompok Rp 1.000.000– Rp 1.500.000 sebesar 21,0%, dan kelompok Rp 1.500.000–Rp 2.000.000 sebesar 12,9%.Sementara itu, responden dengan gaji pokok Rp 2.500.000–Rp 3.000.000 tercatat 5,9% dan yang berada pada kisaran Rp 3.000.000–Rp 3.500.000 sebanyak 2,0%. Proporsi terkecil terdapat pada kelompok gaji tinggi, yakni Rp 3.500.000–Rp 4.000.000 dan Rp 4.000.000–Rp 4.500.000, masing-masing hanya 0,4% responden. Selain itu, terdapat 3,4% responden yang melaporkan menerima gaji pokok kurang dari Rp 500.000 per bulan. 

Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT Tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2.328.969,69, maka terlihat bahwa mayoritas perawat yang bekerja di faskes swasta di NTT (sekitar 91,3%) menerima gaji pokok di bawah UMP. Kondisi ini bisa saja lebih buruk lagi  jika kita survei ke pekerja toko dan UMKM lain.  Bahkan mungkin juga tahun depan akan dialami pekerja di instansi pemerintah seperti pegawai P3K paroh waktu atau honorer lainnya.

Kita berharap agar penerapan Upah Minimun Provinsi bukan sekedar formalitas, melainkan kewajiban yang harus dipatuhi seluruh pemberi kerja baik instansi pemerintah maupun swasta di NTT. Pemerintah Provinsi NTT, Bupati/Wali Kota, DPRD, Dewan Pengupahan Daerah serta instansi terkait agar getol mengawasi pelaksanaan ketentuan UMP secara bersama. Tingkatkan  pengawasan dan pastikan bahwa kenaikan UMP setiap tahun benar-benar dinikmati oleh para pekerja. Tidak hanya menjadi angka yang indah nian di atas kertas tapi buruk rupa dalam realitas. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan ini benar-benar menjadi jaring pengaman bagi tenaga kerja dan mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. **

Sumber publikasi diambil : Akun FB/DBD

Iklan

Iklan