Jakarta, mutiara-timur.com || PEMERINTAH secara resmi menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang-barang mewah, sebuah langkah yang dinilai sebagai upaya mempersempit kesenjangan ekonomi. Kebijakan ini diumumkan bersamaan dengan pengurangan tarif pajak lainnya yang menyasar masyarakat kelas menengah dan pelaku usaha kecil-menengah.
Barang-barang yang masuk kategori barang mewah, seperti kendaraan premium, perhiasan, dan produk fesyen berkelas, kini akan dikenai tarif lebih tinggi dari sebelumnya. Langkah ini diharapkan menekan konsumsi barang-barang mewah yang dinilai kurang berdampak pada ekonomi produktif.
Sebaliknya, pemerintah memberikan insentif berupa penurunan pajak penghasilan untuk UMKM, dari 0,5 persen menjadi 0,3 persen, serta pemotongan tarif PPN untuk kebutuhan pokok tertentu menjadi 10 persen. "Ini adalah bentuk keadilan pajak. Kami ingin masyarakat menengah ke bawah merasakan manfaatnya," ujar Menteri Keuangan dalam konferensi pers di Jakarta.
Pengamat ekonomi menilai kebijakan ini strategis di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi. "Menaikkan pajak barang mewah adalah langkah progresif, namun pemerintah juga harus memastikan implementasinya tidak melemahkan sektor tertentu yang bergantung pada konsumsi kelas atas," kata Faisal Basri, ekonom senior.
Meski demikian, kebijakan ini memicu pro-kontra. Sejumlah pengusaha barang mewah menyatakan keberatan karena berpotensi mengurangi daya beli konsumen mereka. Sementara itu, kalangan masyarakat luas justru menyambut positif kebijakan ini sebagai langkah mendukung pemerataan ekonomi.
Pemerintah menargetkan kebijakan ini mulai berlaku pada kuartal pertama tahun depan, dengan sistem pengawasan yang lebih ketat untuk menghindari potensi penghindaran pajak. "Kami tidak hanya berbicara soal penerimaan negara, tetapi juga keadilan bagi seluruh rakyat," tutup Menteri Keuangan. *(usgo)