Kupang, mutiara -timur.com // LIPA Tala adalah sejenis sarung Riung yang tak kalah digemari selain masyarakat Riung juga masyarakat Kabupaten Ngada serta di luar Kabupaten Ngada atau masyarakat NTT khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Kain tenun yang bernama Lipa Tala ini dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mungkin publik, baik orang Riung sendiri maupun kebanyakan konsumen pemakai lain yang mungkin belum mengenal asal muasal pembuatan sarung Lipa Tala. Karena itu Yayasan NAF berupaya mendokumentasikan sejarah Lipat Tala Riung bekerja sama dengan LDPP melalui dana Indonesiana.
Demikian ketua Yayasan NAF, Agatha Florida memberi keterangan kepada sejumlah media di kantor Yayasan NAF Rabu, 24 Juli 2024.
"Kami dari Yayasan NAF bekerjasama dengan LPDP melalui dana indonesiana berupaya mendukumentasikan tentang Lipa Tala Riung dengan maksud dan tujuan memadukan tradisi dan inovasi untuk menghidupkan kembali Lipa Tala, sehingga dapat berkontribusi pada pembangunan budaya dan ekonomi di era modern. Dari sisi budaya, kami mencatat dan mendokumentasikan dalam bentuk buku dua bahasa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas, terutama generasi muda, terhadap makna dan nilai filosofis Tenun Lipa Tala. Dari sisi ekonomi, kami mengadopsi pendekatan holistik dan kolaboratif untuk mengajarkan kelompok tenun melakukan inovasi desain dan pengembangan produk. Dengan demikian, tenun Lipa Tala dapat diterima oleh masyarakat modern,” ungkap Florida, Ketua NAF.
Menurut Florida bahwa pendokumentasian ini dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh mitra NAF yaitu penerbit deplubisir Jogjakarta dan juga dalam bentuk video atau film yang memperkenalkan kepada publik tentang proses penelitian yang dilakukan sampai pada melatih para penenun khususnya desa Lanamai 1 dan desa Ria 1, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT.
"Penelitian ini kami menghadirkan masyarakat adat di Riung di desa Lanamai 1 dan desa Ria 1. Masyarakat yang hadir adalah kelompok penenun yang diketahui berdasarkan informasi sebagai desa penenun dan karena di Kecamatan Riung Barat dari urut sejarah tidak semua desa penduduknya penenun, sehingga kami melakukan penelitian di dua desa ini.
Selain kelompok penenun khususnya ibu-ibu juga hadir tokoh-tokoh masyarakat kepala desa dan aparatnya serta tamu undangan lain untuk menyaksikan proses kegiatan kami dengan melakukan penelitian melalui metode FGD dan Workshop," ucapnya.
Dikatannya pula dalam penelitian ini ada juga narasumber yang dihadirkan, selain kelompok penenun tokoh-tokoh masyarakat juga Pemerintahan Kabupaten Ngada, Dinas Perindag untuk memberikan beberapa masukan khusus tentang program yang berkaitan dengan kelompok ibu-ibu, terutama pengrajinan industri rumah tangga tenun sarung.
"Pemerintah Kabupaten Ngada, Dinas Deperindag dalam kesempatan ini selain membawakan materi juga menunjukkan respon positifnya untuk memberi dukungan pendampingan terhadap masyarakat dari kedua Desa ini," tutur Florida.
Dalam kegiatan penelitian Yayasan NAF juga menyisihkan waktu untuk memberi pemahaman kepada kelompok penenun berupa pelatihan mengenal warna alami pembuatan tenun sarung dengan menghadirkan narasumber dari Kabupaten Sikka yang mana orang-orang ini punya pengalaman dan jam terbang yang sangat tinggi.
Ada tiga narasumber dari Kabupaten Sikka, Ibu Selly, Ibu Martha dan Ibu Ludgardis yang membawakan materi tentang pengenalan pewarna alam dari potensi sekitar desanya dan juga praktek langsung untuk kelompok ibu-ibu Desa Ria 1 dan Lanamai 1 bisa membuat warna alam serta proses sarung dan telah menghasilkan sejumlah Lipa Tala yang berasal dari pewarna alam.
Yayasan NAF dalam kegiatan pelatihan ini juga berniat agar masyarakat kelompok ibu-ibu penenun dengan menghasilkan sarung dari bahan pewarna warna alam bisa merubah atau meningkatkan pendapatan mereka karena warna alami disukai masyarakat dunia, khusus para wisatawan dan harganya juga lebih tinggi ketimbang pembuatan sarung memakai warna pabrik.
"Harga pewarna alami menurut ketua Yayasan, seperti fasilitator atau narasumber dari Kabupaten Sikka penggemar warna alami berani membeli harga sarung per buah sampai 5 juta ke atas. Sementara sarung-sarung dari warna buatan harganya tidak seperti demikian. Bahkan karena pengalaman menghasilkan sarung pewarna alami mereka menjadi narasumber atau fasilitator ke mana-mana tidak hanya di dalam Indonesia saja bahkan sudah sampai melalang buana di 12 negara. Itulah kehebatan warna alami yang lagi digandrungi oleh warga dunia sekarang,"ulas Florida.
Lebih lanjut Florida, mengatakan bahwa proses penelitian yang dilakukan NAF memang memakan waktu cukup lama sesuai dengan deadline waktu kerjasama dan pada tahap penulisan buku, pembuatan video, editing, penerbitan dan pencetakan memakan waktu, dan sekarang proses ini sudah dilalui.
"Proses pembuatan buku dan video memerlukan waktu cukup, sehingga sekarang kami dari Yayasan NAF ingin melaunching hasil dokumentasinya berupa buku dan video berbahasa Indonesia dan Inggris, sebagai sosialisasi atau publikasi kepada masyarakat Ngada di Kota Kupang maupun masyarakat NTT dan Indonesia, supaya kain tenun Lipa Tala Riung bisa dikenal banyak kalangan tak hanya soal proses dan produknya, juga sejarahnya," ujarnya.
Peluncuran buku ini direncanakan akan dilaksanakan pada awal bulan Agustus, dengan menghadirkan para akademisi kampus, warga masyarakat Ngada, dan juga tamu undangan yang lain bertempat di Kota Kupang. Acara peluncuran ini juga akan diadakan dengan kegiatan tarian Jai dan juga tarian adat Riung. Karena itu diharapkan kalau ada warga masyarakat Ngada atau khusus lagi etnis Riung di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang bila berkesempatan hadirlah bersama NAF dalam acara launching buku LIPA TALA tenun asal Riung. *(usgo)