By Suswati D. Aldrin
Kupang, TEMBANG Ebiet G. Ade dengan judul, “Berita Kepada Kawan,” pernah tenar seantero Nusantara. Lirik tembangnya jelas melukiskan suatu perjalanan hidup di tanah kering bebatuan, dan terasa sangat menyedihkan. Hidup seorang anak yatim piatu kehilangan bapak ibu karena ditelan bencana. Ia ditinggalkan sendiri terpaku menatap langit.
Tembang reflektif ini bagai menyibak nurani siapa pun yang mendengarnya untuk bermenung tentang kehidupan. Bahwa perjalanan hidup kadang melelahkan dan sejumput harapan membentang ke depan lewat tanya, “Barangkali di sana ada jawaban.”
Jawaban yang sangat dirindukan untuk membuka tabir sebab-musebab bencana. Namun tak ada yang sanggup menjawabnya. Hanya ada dugaan, bahwa “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau Allah mulai enggan bersahabat dengan kita.
Candraan Ebiet G. Ade dalam tembang itu dapat dianalogikan dengan kisah reflektif biblis yang dikemas Pengkisah Markus (bdk. Markus 11:12-14) di bawah topik; “Yesus mengutuk pohon ara.”
Terbaca di sana kisah perjalanan Sang Tokoh Cerita dari Betania (sepertinya ke Yerusalem) bersama murid-murid-Nya, dan di tenngah perjalanan, Ia merasa lapar.
Harapan satu-satunya untuk membunuh rasa lapar kala itu adalah manakala menjumpai pohon Ara, lalu mencari kalau-kalau pohon ara itu ada buahnya. “Barangkali di sana ada jawaban.” Sang Tokoh Cerita kemudian mencari buah dari pohon arah itu tetapi tidak menemukan satupun buah di sana.
Karena tidak menemukan, reaksi/respon Sang Tokoh Cerita begitu keras (Mrk. 11:14). Katanya, “Jangan lagi seorang pun makan buahmu selamanya.” Respon keras terlontar dengan nada kecaman demikian karena hanya dijumpai di pohon ara itu “cuma daun-daun saja”. Secara tekstual diketahui, bahwa “Memang pada waktu itu belum musim pohon Ara berbuah.”
Karena tidak memenuhi harapan maka pohon arah ini dikecam seperti ada kesalahan besar. Namun candraan biblis di atas mengajak kita, siapapun dia untuk memahami teks ini degan benar sehingga bisa mengetahui maksud tersembunyi dari “kecaman” Sang Tokoh Cerita.
“Apa perlu pohon arah dikecam salah atau disalahkan?” Itulah pertanyaan ikutannya. Kiranya pohon Ara itu bukan jadi sasaran kecaman tetapi makna dibalik kecaman Yesus selaku Tokoh Cerita itulah penting. Sesungguhnya dibalik kecaman itu, Ia sedang mengajar kepada murid-murid-Nya bahwa: “Pohon Ara dalam teks ini adalah gambaran kehidupan orang-orang percaya, mereka yang telah mengikuti-Nya.”
Bahwa sebagai orang Kristen, pengikut Kristus kadang diidentikan dengan pohon Ara ini. Tumbuh subur dengan lebat daun yang hijau, menjadi rindang dengan batang yang koko tetapi tidak “menghasilkan buah”.
Realita kehidupan kekristenan pada masa ini, kurang lebih serupa. Banyak yang tidak “menghasilkan buah”. Mungkinkah seperti para ahli Taurat dan para Farisi pada masa lalu itu? Mereka kelihatan begitu taat, begitu setia untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan tata peribadatan mereka sebagai orang Yahudi dengan ketat, dengan berbagai aturan yang mengikat dan berpegang teguh pada hukum Taurat, tetapi “Mengapa Yesus mengecam mereka?”
Bukankah mereka orang yang taat? Kelompok orang yang patuh, yang setia pada Taurat, yang beragama? Kelompok ini patut diacungi jempol untuk hal-hal beragama, tetapi dalam praksis hidup, pada tataran implementasi sikap “tidak ada apa-apanya”.
Ada banyak aplikasi hidup hanya berupa “cesing.” Menarik agar sedap dipandang mata. Glamour dengan simbol-simbol keagamaan yang hebat tetapi semua itu hanya untuk memenuhi aturan agama bukan untuk memenuhi dan atau menjawab aturan yang diberikan oleh Allah atau dijalankan sesuai yang di kehendaki Allah yang tergambar dalam dan melalui kehendak Yesus.
Itulah hidup mereka “Tidak berbuah” dalam pandangan Yesus. “Mereka cuma daun-daun saja.” Jadi benarlah jika nats ini menjadi teguran tidak hanya bagi mereka tetapi juga bagi kita sebagai pengikut Kristus. Sesungguhnya buah dalam kehidupan orang percaya itu nampak melalui perkataan, tindakan, atau pada sikap hidup tiap-tiap hari.
Sangat disayangkan jikalau kita pergi ke gereja, rajin beribadah tetapi tampilan sikap hidup kita terjadi sebaliknya. Jikalau kita menunjukkan bahwa kita adalah orang yang taat dan patuh kepada apa yang diperitakan oleh Allah, rajin baca Alkitab, rajin berdoa, rajin menyembah Allah tetapi dalam hidup bersama kita suka menyakiti hati orang lain, suka memfitna, suka mengosip, tidak mengasihi dan tidak menunjukan kebaikan kita sebagai anak-anak Allah maka tidaklah bedanya hidup kita dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kita seperti “pohon Ara yang belum menghasilkan buah.
Pertanyaan reflektif yang patut direnungkan adalah apakah sebagai orang percaya kita telah “menghasilkan buah”, dan “buah kita” menjadi berkat bagi sesama dan boleh menyenangkan hati Tuhan? Jangan kita hanya menjadi orang Kristen dan hanya berbuah pada musim tertentu tetapi jadilah orang Kristen yang menghasilkan buah setiap saat, setiap waktu tanpa menunggu musim buah tiba. *(Penulis Penyuluh Agama).