Ketua Forkomed NTT, Immanuel Membantah Data BPS di NTT Ada Ekspor Migas


Kupang, mutiaratimur.net

Menampilkan beberapa materi, antara lain Nilai Tukar Petani Februari 2020, Nilai Ekspor dan Import, Indeks Pembangunan Manusia, Tingkat Hunian di Hotel Berbintang, Jumlah Kunjungan Wisatawan dan Kondisi Hasil Panen  Padi serta Luas Lahan Sawah, BPS NTT mendapat kritikan  cukup keras dari salah seorang jurnalis.  Jurnalis itu adalah Immanuel, Ketua  Forum Komunikasi Jurnalis Lintas Media(Forkomed) NTT.

Kritikan sebagai masukan kepada Pemerintah NTT, khususnya BPS agar ada dasar pertimbangan yang realistik dalam memaparkan data yang berkaitan dengan ekspor komoditas migas dan non migas.

"Saya hanya mau katakan aneh terhadap rilis data BPS tentang ekspor migas.  Menjadi pertanyaan saya apakah di NTT ada tambang minyak dan gas, sehingga produknya di ekspor ke luar negeri. Ini harus realistis, dimana ada tambang  minyak dan gas. Apakah minyak celah timor itu sudah jadi milik Indonesia, dan dikelola di NTT. Kalau memang betul minyak celah timor menjadi  milik Indonesia, dikelola di NTT baru data migas bisa masuk dalam sajian BPS. Sebaiknya Pemerintah tak perlu memaksa memasukan tentang ekspor migas sebagai sumber data," komentar Immanuel.

Immanuel adalah seorang Pendeta dan Reporter pada  Cave Radio FM Kupang juga mengkritisi non migas, misal rencana Pemerintah mengekspor kelor sebagai salah satu komoditas yang berpotensi menjadi komoditas non migas unggulan. Dengan melihat klaim Pemerintah tentang manusia NTT kini terkenal dengan manusia stunting.
NTT dalam berbagai kesempatan telah diberi predikat angka daerah Stunting sangat tinggi. Sementara kelor sebagai  jenis tanaman yang dapat menjadi sumber makanan bisa menekan angka stunting, tapi menjadi aneh kelor lebih diprioritaskan untuk ekspor keluar negeri demi pemasukan nilai ekonomisnya dan menomorduakan  untuk konsumsi orang NTT demi nilai kesehatan.

 "Kita NTT termasuk Provinsi termiskin, stunting tinggi, maka kelor untuk cegah stunting, kenapa pemerintah mau ekspor bubuk kelor 1,2 ton ke luar setiap kali. Mestinya kalau kelor punya potensi untuk mengatasi masalah kesehatan, seperti NTT terkenal dengan predikat stunting tinggi sebagaimana pada kegiatan formal sering disampaikan, maka kelor harus penuhi dulu kebutuhan konsumsi kita di NTT dan  setelah produknya melebihi baru diekspor. Itu baru benar, bukan langsung dengan kepentingan bisnisnya. Utamakan kesehatan stunting manusia NTT kemudian sudah teratasi, mulailah dengan  ekspor untuk peningkatan pendapatan," ujar beliau.

Komentar Immanuel Ketua Forkomed NTT dan Repoter Cave Radio FM Kupang terjadi saat jumpa pers di aula BPS Provinsi NTT, Senin (02/03).***

Iklan

Iklan