Labuan Bajo, — Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengecam keras pembiaran praktik monopoli tanah dan peminggiran masyarakat adat Ata Modo dalam pengembangan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo (TNK). KPA menilai izin-izin konsesi kepada sejumlah korporasi besar, termasuk PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), merupakan langkah sistematis mengabaikan hak-hak konstitusional masyarakat lokal.
Koordinator Wilayah KPA NTT, Honorarius Quintus Ebang, menyebut konsultasi publik yang digelar pemerintah terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek PT. KWE pada Rabu (23/7/2025) di Golo Mori Convention Center, Labuan Bajo, sebagai prosedural semata dan melukai martabat Ata Modo, yang bahkan tidak diundang sebagai pihak terdampak langsung.
"Hadirnya TNK atas nama konservasi hanya untuk memonopoli ruang dan memberi peluang akumulasi pendapatan bagi segelintir pemodal. Masyarakat Ata Modo dikorbankan, dimiskinkan, dan sangat rentan dikriminalisasi," tegas Quintus.
Konsesi Masif, Hak Masyarakat Terus Diabaikan
Sejak penunjukan Pulau Komodo sebagai Suaka Margasatwa pada 1965 dan kemudian menjadi Taman Nasional pada 1980, masyarakat Ata Modo terus mengalami pembatasan ruang hidup. Di bawah rezim Orde Baru, mereka bahkan digusur secara paksa dari wilayah adat mereka di Loh Liang — kini pusat kegiatan wisata TNK.
Kini, konsesi kembali diperluas. PT. KWE telah mengantongi izin pengelolaan seluas 426 hektare di Pulau Padar dan Pulau Komodo sejak 2014. Perusahaan lain seperti PT. Segara Komodo Lestari, PT. Sinergindo Niagatama, PT. Nusa Digital Creative, hingga PT. Palma Hijau Cemerlang juga menguasai ribuan hektare tanah di kawasan TNK.
"Totalitas konsesi itu kontras dengan realitas di lapangan. Desa Komodo hanya dihuni di atas lahan permukiman seluas 18,1 hektare untuk 1.989 jiwa. Ini bentuk nyata ketimpangan penguasaan tanah," ujar Quintus.
Konservasi Berbasis Industri, Bukan Komunitas
KPA menilai model pembangunan pariwisata di TNK saat ini lebih berorientasi pada Industry-Based Tourism dibanding Community-Based Tourism. Masyarakat Ata Modo, yang sejak lama menjaga keberlangsungan alam dan habitat komodo, justru dimarjinalkan dari proses pengambilan keputusan dan hasil pembangunan.
Sebagian besar kebutuhan pokok bahkan harus diimpor dari luar pulau, karena lahan pertanian, lokasi menangkap ikan, dan area praktik kebudayaan telah berubah fungsi atau dikuasai investor.
Tuntutan Reforma Agraria Sejati
KPA mendorong kawasan Komodo sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dan mengembangkan Gerakan DAMARA (Desa Maju Reforma Agraria) sebagai solusi pembangunan berkeadilan. KPA menegaskan pentingnya pengembalian hak atas tanah kepada masyarakat adat Ata Modo dan menjadikan mereka sebagai subjek utama dalam agenda pembangunan dan konservasi.
“Jika pemerintah serius soal ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan, maka Ata Modo harus diakui haknya atas sumber-sumber agraria,” tegas Quintus.
KPA menuntut:
- Penghentian seluruh izin konsesi di TNK
- Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh bentuk konsesi
- Pemulihan hak tanah masyarakat Ata Modo melalui Reforma Agraria sejati. *(go)