Palue, Sikka - Di ujung utara Kabupaten Sikka, ada sebuah pulau bernama Palue. Tidak banyak yang menyebutnya, apalagi mengunjunginya. Tapi dari sanalah, suara paling lantang datang hari ini.
“Kami bukan penonton pembangunan. Kami korban ketidakpedulian,” ujar Selestinus Laba, tokoh masyarakat sekaligus Ketua DPC PSI Kecamatan Palue, dengan nada getir.
Ia berbicara bukan sebagai politisi. Tapi sebagai warga yang sudah muak melihat pembangunan hanya numpang lewat.
Transportasi laut adalah satu-satunya jalan keluar masuk. Tapi di Palue, tambatan perahu hanyalah rakitan kayu tua. Barang terlambat, harga membumbung, dan ekonomi tak pernah tumbuh.
Setiap tahun, gelombang laut mencaplok daratan. Sekolah, rumah warga, kantor camat, pos polisi semua nyaris disapu laut. Tapi pemerintah? Bungkam.
Sebuah SD swasta berdiri dalam kondisi mengenaskan. Dinding retak, atap bocor. Di situlah anak-anak Palue mencoba mengeja masa depan.
Rudolfus Riba, ST, Camat Palue, membeberkan semua usaha yang telah dilakukan. Surat ke BPBD, laporan ke BNPB, bahkan liputan Metro TV sudah terjadi.
“Abrasi sudah sejak 2022. Tapi tidak ada tindak lanjut. Kami lelah bertanya, lelah berharap,” katanya, tak menyembunyikan kekecewaan.
Ini Bukan Keluhan. Ini Seruan Keadilan. Palue tidak minta dikasihani. Mereka tidak cari simpati. Mereka hanya menuntut: Akses layak, Tanggul pengaman,Sekolah yang pantas.
“Kami tahu hak kami. Jangan jadikan Palue hanya nama di peta,” tegas Selestinus.
Sekarang bola ada di tangan Pemerintah Kabupaten Sikka, Pemerintah Provinsi NTT, dan Pemerintah Pusat. Apakah jeritan ini akan kembali jadi angin lalu? Atau kali ini, suara dari pulau kecil bernama Palue akan masuk telinga, masuk hati, dan menggerakkan langkah?
Palue sudah bicara. Dengan suara paling jujur, paling sakit. Saatnya Jakarta mendengar. *(go)