Kaya-Kekayaan, Berkat Atau Kutuk ? (Catatan refleksi atas Injil Markus 10:12-22)

Oleh Suswati Duapadang, S.Th

ORANG kaya selalu menarik perhatian khalayak. Beberapa nama yang dicatat Kitab-Kitab, seperti Abraham, Ayub, dan Salomo. Ada lagi, seperti Matius pemungut cukai, Zakeus, Orang Muda kaya yang mencari “hidup kekal” dan Lidia, seorang pengusaha penjual kain ungu yang selalu membantu dan melayani Paulus. Mereka ini hidup pada masa Yesus dan setelahnya. 


Dari kondisi mereka, pandangan biblis menegaskan, bahwa orang kaya (punya banyak harta) adalah tanda diberkati oleh Tuhan. Sedangkan mereka yang banyak harta/ kaya di zaman Yesus historis terkonsepkan sesuai ajaran, “sulit masuk Kerajaan Allah -Sorga”. 


Atas ajaran biblis demikian muncul telaah konsepsi “kaya” sebagai kondisi dan “kaya” sebagai pola hidup. Jika bertitik tumpuh pada konsep kedua, maka kondisi ini dapat dan tidak dapat memungkinkan orang kaya itu masuk Kerajaan Allah.


“Kaya sebagai kondisi hidup” dalam konteks biblis dapat dipandang sebagai “kerbekahan” yang datang dari Allah, anugerah yang datang dari “Atas”. Bahwa Tuhan menganugerahkan segala yang dimiliki seseorang berkaitan dengan harta, uang atau kekayaan material sebagai berkat. Dengan sumber daya yang cukup atau lebih dari cukup ini untuk memenuhi kebutuhan dan bahkan keinginan pemiliknya. 


Sedangkan “kaya” sebagai pola hidup, dalam arti yang lebih luas, bukan hanya material atau tidak hanya diukur dari segi materi. Seperti contoh kaya dalam pemikiran, “kaya hati” dan kaya dalam pengalaman hidup. 


Kaya dalam konsep ini lebih menunjukkan pada kualitas hidup dan relasi yang dibangun dengan orang lain dan kontribusi terhadap sesama. Sikap ini lebih menekankan kepada penghargaan terhadap nilai-nilai spiritual, sosial dan emosional. 


Sementara kaya sebagai pola hidup (sikap) yang tidak berdasarkan fakta dan realita diri, sangat memudahkan seseorang terjerumus dalam cara hidup semu, cara hidup seolah-olah, gaya hidup pura-pura kaya. Seperti misal berlagak kaya dalam interaksi sosial. 


Atas pemahaman-pemahaman ini, kepada siapakah secara kontekstual topik yang disajikan Markus diperuntukan, dan pernyataan: “Lebih muda seekor unta melewati lobang jarum dari pada orang kaya masuk Kerajaan Allah,” dikenakan?


Seturut kisah Markus, bahwa seorang yang banyak harta (Orang Muda yang kaya, bdk. Matius, 19-16-26) menemui Yesus dan bertanya bagaimana caranya untuk memperoleh “hidup kekal” (= Masuk ke dalam Kerajaan Allah). Semasa mudanya, ia telah ikhlas beramal, berbagi rezeki  dan berbagi kasih untuk sesama. Ia penganut ajaran Taurat Musa dan taat melaksanakan segala perintahnya.


Kelakuan “berbagi” dan atau “berbelas kasih” sejak masa muda ini selain sesuai ajaran yang diyakininya, juga dapat dikatakan sebagai tanda syukur kepada Allah yang telah memberikan kepadanya “berkat duniawi,” yakni banyak harta.


Harta baginya adalah anugerah dan berkat dari Tuhan. Ketika Yesus hadir di era dan daerahnya serta banyak orang mulai percaya pada Yesus, ia juga datang dan bertanya: “Apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal”? Lantas patokan yang Yesus berikan kepadanya, pada ujung kisah, melahirkan pernyataan Yesus yang mencengangkan para murid-Nya, “Alangkah sukarnya orang beruang masuk Kerajaan Allah. 


Pernyataan Yesus ini dapat dipetahkan menjadi pernyataan yang bersifat personal, yakni  untuk pribadi, seseorang yang banyak hartanya (orang muda yang kaya) dan bersifat umum, untuk para murid, juga para pendengar saat itu, bahkan untuk orang-orang percaya sat ini.


Tercatat beberapa tafsiran etis-teologis atas rincian kisah Markus ini, sebagai berikut, “Datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Yesus dan sambil “berlutut” di hadapan-Nya, dan bertanya: “Apa yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup kekal”?


Pertama, “berlutut”. Sikap ini menandakan seseorang yang punya harta (orang kaya) itu bukan orang sombong! Kedua, pertanyaan di atas menunjukkan: “Selain bermoral, pemuda kaya itu memiliki kecerdasan spiritual, dan ia juga bukan seorang yang materialis. Hal ini terbukti oleh negasi pertanyaan: “Guru, bagaimana caranya untuk menambah harta lebih banyak lagi dan hidup bahagia di dunia”? 


Pertanyaan yang menunjukkan “kecerdasan spiritual” ini, merupakan pertanyaan tulus yang lahir dari nurani orang yang banyak harta itu. Atas pertanyaan ini, Yesus berbelas kasih (sebagai tanda ketulusan) dan memberikan patokan atau persyaratan, bagaimana cara memperoleh hidup kekal atau masuk kerajaan Allah. 


Patokan-patokan itu tercatat di ayat 19, yakni melakukan apa yang sudah difirmankan Allah; jangan membunuh, jangan mencuri, jangan bersinah, dan seterusnya. “Seluruh hukum taurat,” kata Yesus. Apa yang diperintahkan Allah harus engkau lakukan. 


Apa jawaban seseorang yang banyak harta itu, “Guru semua sudah aku lakukan”! Tentunya ada harapan bahwa semua hal yang dilakukan ini sangat memungkinkan dia memperoleh hidup kekal.


Namun ukuran manusia itu tidak bisa dikenakan pada capaian Hidup Kekal yang dari Allah dan seturut ukuran Allah. Maka “ada satu yang kurang” (ayat 21). 


“Yang kurang” sebagai “satu” patokan yang belum dikerjakan adalah; (1) Jualah hartamu, (2) seluruh hasil penjualan itu berikan kepada orang miskin), (3) Setelahnya, kau ikutlah aku. 

Andai terjadi “mega transaksi” ini, maka seseorang yang banyak harta (pemuda kaya) itu menjadi tidak punya harta, ludes total, tidak punya apa-apa lagi dan siap memperoleh hidup kekal, masuk ke dalam Kerajaan Allah. 


Kisah lanjutnya pemuda kaya itu “kecewa dan pergi dengan sedih”(ayat 22). Sama maknanya ia menolak patokan-patokan itu. Atau diperkirakan ia sedang dalam pergolakan logika antara fakta dan opini (fiktif) tetapi sangat menuntut.


Kemudian kata Yesus: “ikutlah Aku”! Dalam konteks pemuridan berarti menyangkali semuanya dan secara total hidup seperti 12 murid Yesus. Seperti sebanding kisah ini dengan pernyataan yang terjadi dan dialami Petrus, “Mulai sekarang engkau menjadi penjala manusia,” (= berhentilah bekerja sebagai nelayan/  penangkap ikan). 


Pernyataan-pernyataan tersebut bukanlah soal yang mudah dicerna otak dan kemauan manusiawi, melainkan banyak mendatangkan pergolahkan dan dilemma. Ada dilema pikiran (logika), dilemma Bathin (keyakinan), dan dilemma rasa (afeksi) untuk keputusan yang tidak semudah membalikan telapa tangan. 


Banyak hal telah dilakukan oleh pemuda kaya itu namun hanya kurang satu hal yang ia belum lakukan, lantas ia dicap: “Alangkah sukarnya orang beruang masuk Kerajaan Allah. Lebih muda seekor untah melewati lobang jarum dari pada orang kaya masuk Kerajaan Allah”.


Benar dan faktual cap-pernyataan ini, sekaligus merupakan kesimpulan kunci dan final dari suatu realita hidup bahwa hati pemuda kaya yang selalu terikat pada harta mengakibatkan “sukarnya masuk Kerajaan Allah”. Sedangkan binatang unta boleh saja. Serupa lolos melalui lubang jarum. Apa penting harta bagi unta? 


Titik persoalanya terletak pada fakta ini, bahwa sikap orang yang punya harta TERLALU TERPAUT ERAT, TIDAK BISA PISAH DARI HARTANYA. Bukan soal pelit atau apapun sejenisnya, terlalu kaya atau tidak taat, tetapi HATINYA LENGKET KUAT atau SANGAT TERIKAT PADA HARTANYA.


Sepadan maknanya dengan pernyataan ini, “Dimana hartamu berada disitu juga hatimu berada.” Kontrasnya adalah TIDAK TERIKAT PADA KASIH ALLAH. Jelas kini refleksi jadi menarik dan mencerahkan bahwa Firman Tuhan ini tidak akan pernah bermaksud untuk menjustifikasi para kaya atau membenarkan yang tidak kaya tetapi yang dimaksud oleh kisah ini adalah kekayaan yang sesungguhnya bukan di dunia tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah harta di sorga (iktulah Aku), dan si empunya harta belum siap untuk memilih menabung harta di sorga. Ini intinya. 


Logis dan wajar ketika kebutuhan hidup dibiayai oleh harta yang dimiliki, dan semakin meningkat kebutuhan hidup semakin pula dibutukan harta setara atau lebih dari itu.


Segala daya upaya, situasi jatuh dan bangun dalam berusaha mendapatkan harta kekayaan itu bukanlah masalah. Senada Amsal, sang bijak yang berbahasa dalam Alkitab: “Kekayaan dan kehormatan akan diberikan kalau kita memandang kekayaan berkat Tuhan.”


Jangan malu menjadi kaya!

Awasannya, apapun yang diperoleh seharus dilihat sebagai berkat Tuhan. Pilihlah keterikatan kepada sang pemberi harta, sang pemberi kekayaan, sang pemberi berkat, bukan berkat itu, bukan harta itu, bukan kekayaan itu, itu bedanya ketika Tuhan mengatakan jualah semua itu, berikanlah (berbagilah) kepada orang miskin, lalu ikutlah aku. Inilah bukti keterikatan ada pada si pemberi berkat, Tuhan.


Kata-kata “Lebih muda seekor untah melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk dalam kerajaan sorga” (ayat 25) merupakan realitas yang imposibel.


Apa maksudnya “Lubang jarum”? Ada tiga kemungkinan; (1) Lubang jarum dalam arti harafiah, artinya mustahil. (2) di Israel ada dua gerbang; (a) gerbang yang sangat besar sekali, untuk unta lewat bersama dengan barang-barang bawaan yang menjulang tinggi dan (b) gerbang yang kecil, khusus hanya untuk dilewati manusia. 


Pernyataan Yesus, “Lebih muda seekor unta masuk lewat lobang jarum,” barangkali lewat pintu kecil yang biasa dilewati manusia. Katakan saja jika didorong-dorong akhirnya dapat masuk lewat pintu kecil itu. (3) Pernyataan Yesus adalah “peribahasa”. Sangat mustahil rasanya seorang kaya masuk kerajaan sorga, manakala hatinya terikat pada hartanya bukan pada si pemberi harta. 


Closing stetement untuk kehidupan adalah tidak pernah alkitab menghakimi orang kaya ataupun orang tidak kaya tetapi pada cara pandang dan sikap kita pada banyak harta.


Kaya menjadi pola hidup yang ril bukan pura-pura sembari merujuk setiap perolehan kepada kehendak si pemberi harta: Dia lah sang pemberi hidup, pemberi roh kepandaian, pemberi hikmat dan sang pemberi dan pembimbing Abraham, Musa, Ayub, Matius, Zakheus dan Lidya.  Bagi mereka harta bukanlah kutuk tetapi berkat. (editor: Alhayon). ***


Iklan

Iklan