Politik: Medan Merasul Awam Katolik

                  
              Opini : Germanus S. Attawuwur

I. PENDAHULUAN

Negara kita sedang berada di dalam tahun politik. Tahun politik di mana seluruh warga Negara yang mempunyai hak pilih terlibat di dalam pesta yang dinamakan pesta demokrasi. Sebagai warga Negara Indonesia, umat katolik juga mempunyai hak yang sama dengan warga Negara yang beragama lain untuk memilih calon pemimpin Negara, entah itu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD maupun Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati  serta Walikota atau Wakil Walikota.

Sebagai warna Negara Indonesia, umat katolik memiliki kewajiban moral politis untuk ikut memilih atau dipilih dalam ajang lima tahunan ini. 

Keterlibatan umat katolik, khususnya kaum awam jauh-jauh hari sudah diatur di dalam Konsili Vatikan II, khusus Dekrit Tentang Kaum Awam. Pada bagian pendahuluan dalam dekrit suci itu dikatakan bahwa kegiatan kerasulan umat Allah ingin konsili tingkatkan lebih lagi. Karena itu dengan prihatin Konsili berpaling kepada kaum awam. Peranan khusus mereka yang mutlak diperlukan dalam perutusan Gereja. Karena kerasulan para awam, yang bersumber pada panggilan Kristen mereka sendiri, tidak pernah boleh absen di dalam Gereja.(Dr. J. Riberu., Dokpen MAWI, Konsili Vatikan II, Jakarta, 1983, hal. 314)  

Tujuan keterlibatan kaum awam melalui kerasulan awam ini adalah untuk penyelamatan manusia, maka karya penebusan Kristus mencakup juga pembaruan seluruh tata hidup duniawi atau seluruh dimensi kehidupan duniawi. Seluruh dimensi kehidupan itu dalam konteks Indonesia mencakup antara lain ideology, politik, ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan atau dikenal dengan istilah ipoleksosbudhankam). Pada seluruh tatanan hidup duniawi inilah umat katolik dipanggil untuk merasul. Mereka diutus untuk menjadi garam dan terang dunia (Mat.5:13-15). 

Karena itu kepada kaum awam, Mgr. Soegijapranata, SJ dalam merumuskan reksa pastoral pembinaan kerasulan awam tahun 1950-1960, beliau mengatakan bahwa:” Tugas orang katolik itu bukan membaptis orang. Itu urusan Roh Kudus, tetapi tugas orang katolik adalah bagaimana membuat baik Negara dan bangsa ini.”Untuk membuat baik negara dan bangsa ini maka orang katolik harus menjadi orang katolik yang 100% dan warga Negara Indonesia yang 100%.

Politik adalah salah satu dimensi kehidupan yang harus juga menjadi perhatian kerasulan awam. Maka dari itu, penulis memilih judul:” Politik: Medan Merasul Awam.”

Salah satu segi hakiki dalam profesi berpolitik adalah penarian, pembentukan dan penanganan kekuasaan. Kekuasaan adalah prasyarat agar orang dapat mempengaruhi nasib masyarakat, maka siapa saja yang mau berpolitik dalam arti memajukan masyarakat sebagai keseluruhan.  Atau dengan lebih sederhana dapat dirumuskan bahwa tujuan berpolitik adalah demi memperjuangkan kesejahteraan umum sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto). Karena itu maka orang katolik dalam hal ini awam katolik mempunyai hak untuk berpolitik. Mereka berpolitik atas tidak atas nama Gereja tetapi karena tanggung jawab mereka sendiri, namun selalu dalam semangat Injil. (Eduard R. Dopo., Keprihatinan Sosial Gereja, Kanisius, Jakarta, 1994, hal.35).

Karena tujuan politik dalam semangat Injil adalah untuk mewujudkan kebaikan umum (bonum comunae) maka Paus Fransiskus pun mendoakan secara khusus dan mengajak seluruh umat manusia, teristimewa orang-orang katolik di Indonesia, untuk mendoakan politisi-politisi yang berjuang pada tahun politik ini. Beliau mengatakan:” Politik, meskipun seringkali dicela, tetap menjadi panggilan luhur dan salah satu bentuk yang paling bernilai  dari amal kasih. Namun demikian, politik itu sejauh mengusahakan kesejahteraan umum/bonum comunae/salus populi suprema lex. Saya mohon kepada Tuhan agar memberi kita lebih banyak  politisi yang sungguh-sungguh memiliki kepedulian kepada masyarakat, kepada rakyat dan kehidupan orang-orang miskin.”(Evangelii Gaudium Nomor 205).

Dalam terang inilah maka musti dipahami oleh politisi katolik bahwa politisi katolik tidak berjuang untuk kepentingan Kristen, melainkan untuk kepentingan umum, berbicara tentang kepentingan orang banyak: salus populi suprme lex esto. Karena itu maka seorang politisi katolik harus melihat agamanya (dan tentu pula agama lainnya) sebagai inspirasi bagi perjuangan, ilham bagi kegiatan. Dasarnya adalah Moral Kristiani. Moral Pancasila. Cintakasih Kritiani. Peradaban Pancasila. Iman Kristiani.   . 

II. POLITIK: MEDAN MERASUL AWAM

Bung Kanis Pari, politisi kawakan, politisi katolik asal Nusa Tenggara Timur, yang kiblat politiknya adalah Hati Nuraninya sendiri, pernah  mengatakan:” Politik itu kotor, tapi indah. Licin tapi menarik. Licik tapi resik. Repot tapi asyik. Sulit tapi wajib. Ruwet tapi bergairah. Berbahaya tapi mempesona. Penuh jebakan tapi rindu menarik ingin. Jemu tetapi kembali selalu tetap membelenggu. Penuh gejolak tapi semarak. Bisa diperhitungkan  tetapi berantahkan tidak terduga.”(James Eudes Wawa, Jangan Takut Berpolitik (Kumpulan Pidato Kanis Pari, 1979-1987 , Pusat Edukasi dan Kajian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 2004).

Politik dalam arti nyata tidak pertama-tama berurusan dengan tujuan-tujuan luhur, seperti misalnya dengan keadilansosial, tuntutan kemakmuran bagi semua, pelestarian nilai-nilai budaya, tetapi dengan kebijakan konkret praktis yang perlu diambil untuk mengusahakan pelaksanaan tujuan-tujuan luhur itu. 

Gereja ikut berbicara dalam pertimbangan tentang tujuan-tujuan, misalnya menuntut agar keadilan social dijadikan prioritas. Akan tetapi Gereja tidak mempunyai kompetensi untuk megajukan kebijakan kebijakan konkrit praktis. Untuk itulah maka peran awam katolik menjadi penting dalam gelanggang perpolitikan Indonesia. Maka hendaknya kaum awam yang terpanggil untuk mengabdikan dirinya kepada kekuasaan eksekutif, legislative ataupun yudikatif, harus dilihat sebagai medan merasul awam.  Karena itu dalam medan merasul awam hendaknya seorang politisi katolik memiliki prinsip moral yang teguh serta senantiasa konsisten dalam perjuangannya demi pembaruan, keadilan, kebenaran, solidaritas dan kemanusiaan sejalan dengan terang iman yang dihayatinya, dengan berpedoman pada hati nurani sebagai sahabat setianya, karena suara hati adalah suara Allah sendiri (Vox Populi Vox Dei). 

Kalau politik sebagai medan merasul awam maka menjadi kesempatan untuk menjabarkan dan memperlakukan dalam kegiatan politik sehari-hari itu adalah penghayatan pribadi hakikat Injil itu, yakni warta gembira tentang pertobatan dan pembaruan (Mrk.1:5), kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan sesuai dengan kehendak-Nya (Luk.4:18-19). Penjabaran politik sehari-hari itu juga sebenarnya adalah aplikasi dari sikap politik biblis dalam kehidupan bernegara, yakni berikan kepada pemerintah apa yang menjadi hak pemerintah dan berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat. Karena itu politisi katolik dituntut untuk memiliki integritas diri. Bila diberikan amanah untuk menjadi pemimpin maka dia wajib memiliki integritas diri. Orang yang memiliki integritas ialah orang yang memiliki prinsip moral, dan standar pribadi yang menjadi pegangan hidupnya dan dalam keadaan bagaimanapun, ia tetap konsekwen. Ia tidak mau korupsi. Ia tidak mau kolusi. Apalagi nepotisme. Karena korupsi, kolusi dan nepotisme berarti mengkhianati integritasnya (James Eudes Wawa., Jangan Takut Berpolitik, Kumpulan Pidato Kanis Pari, 1979-1987 , Pusat Edukasi dan Kajian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 2004, hal155).

Karena itu maka politik harus menunjuk kepada keselamatan manusia seutuhnya (cura animarum), terutama di dunia fana ini suatu perbuatan cintakasih, suatu medan merasul awam:”Masuklah ke dalam tempat yang telah disediakan Bapa… karena ketika Aku lapar kau beri makan, aku haus kau beri minum, aku tlanjang kau beri aku pakaian.”(Mat.25:34–36). Inilah yang disebut dengan panggilan hidup politik. Inilah yang disebut tanggungjawab moral politik yang populis. Artinya, politisi katolik memiliki dedikasi kristiani dengan memikul semboyan manunggal dengan umat dan terlibat dengan rakyat untuk menginternalisir panggilannya untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat dengan berpedoman pada ajaran bapa-bapa Konsili:” Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula.” (Gaudium et Spes no.1, Konsili Vatikan II, hal.476).  

III. PENUTUP

Politik adalah medan merasul awam. Sebagai panggilan Injili bagi semua orang yang berkehendak baik, yang memilki tujuan mulia yakni untuk memperjuangan keadilan social, memperjuangangkan kesejahteraan umum masyarakat. Karena betapa luhurnya panggilan untuk berpolitik ini maka perlu sekali pendidikan politik semakin massif dan semakin ditingkatkan afar rakyat makin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, sehingga ikut serta dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan, serta untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan. Pendidikan politik adalah cara ampuh untuk mendidik dan membentuk pemimpin-pemimpin yang merakyat. Yang terlibat dengan rakyat. Yang manunggal dengan umat. Melalui pendidikan politik akan lahir pemimpin dengan integritas social, dan integritas kultural yang valid, sebagai prasyarat etika kepemimpinan.

Dari uraian di atas kita menyimpulkan bahwa politik patut dilihat sebagai medan untuk berdedikasi bagi awam katolik. Panggilan untuk mewartakan injil, diutus untuk menjadi garam dan terang dunia. Oleh Rasul Yakobus, itulah yang dinamakan perwujudan iman. Iman harus diwujudkan dalam perbuatan, kalau tidak iman itu kosong. Iman itu mati. Iman yang benar pasti membawa sebuah perubahan hidup dan menghasilkan perbuatan baik – bukan karena perbuatan itu menyelamatkan, tetapi iman yang menyelamatkan itu menghasilkan perbuatan baik, (Yak. 2:26).    .  

Daftar Pustaka:

1. Alkitab Deutrokanonika

2. Dr. J. Riberu., Dokpen MAWI, Konsili Vatikan II, Jakarta, 1983, hal. 314)  

3. Eduard R. Dopo., Keprihatinan Sosial Gereja, Kanisius, Jakarta, 1994, hal.35.

4. Evangelii Gaudium, Butir-Butir Pengajaran Pastoral Paus Fransiskus, Nomor 205.

5. James Eudes Wawa., Jangan Takut Berpolitik, Kumpulan Pidato Kanis Pari, 1979-1987 , Pusat Edukasi dan Kajian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 2004, hal155.





Iklan

Iklan