ENGKAU JUGA YUDAS ? (Catatan refleksi atas Kisah Penangkapan Orang Nasaret itu)

         Oleh: Vinsens Al Hayon

SETURUT kisah, aku berasal dari Keriot, suatu kota di Selatan Yudea. Tambahan nama Iskariot mengidentifikasi asalku itu, Keriot. Tentang aku sebagai “orang luar,” diceritakan Sinoptik (Mateus, Markus, Lukas) dan Yohanes. “Orang luar” artinya aku adalah salah satu dari kelompok keduabelasan yang non Galilea. Tidak mengapa, jika aku bukan “orang dalam.” Karena pada prinsipku: “aku bangga lantaran dipilih."

“Orang Nasaret” itu jadi pengikut dekatNya dalam perjuangan memproklamirkan Kerajaan Allah di dunia. Suatu Kerajaan Damai Sejahtera dan berhukum Cinta Kasih.

Nama Iskariot yang tertera di belakang namaku, Yudas, mengandung beberapa arti, di antaranya:

Pertama, pria dari Keriot, kedua, orang Sika, yang artinya pembawa belati. Memang demikian adanya lantaran aku datang dari satu aliran Yahudi yang fanatik. Ketiga, dalam bahasa Aram, nama Iskariot itu berarti orang yang hidupnya berpura-pura, dan penghianat. Aku tahu arti nama itu karena aku tumbuh dewasa dalam budaya Keriot, sebuah kota di Selatan Yudea. 

Rahasia “arti sebuah nama,” aku simpan rapih dalam hatiku. Tapi sering aku gelisah, dan aku yakin “Orang Nasaret” itu tahu, dan memang Ia tahu. Hal itu terungkap ketika kami makan bersama dengan DIA di “The Last Supper” atau Malam Perjamuan Akhir. IA sempat menyindir aku katanya: “Sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku,” (bdk. Mat 26: 21-25). Atas sindirian kepadaku itu, semua yang 

hadir pada perjamuan itu kaget dan beberapa di antaranya bertanya: ”Bukan aku, ya Tuhan ?” Lalu ia menjawab mereka, bahkan dengan nada mengecam. Aku berpura-pura tidak tahu sewaktu ia menjawab mereka. Saat itu akal bulusku bekerja keras dan hasilnya: “aku juga ikut bertanya: “Bukan aku, ya Rabi ?”

Jika kesebelas pengikut lain yang hadir pada malam perjamuan itu paham dan tajam analisinya maka mereka tahu siapa orang yang melakukan hal itu. Hal ini jelas sekali dari cara aku menyapa DIA. Mereka menyapa DIA dengan Tuhan dan aku memanggilNya, Rabi atau Guru.

Keberuntungan tidak tertangkap saat perjamuan malam bersama Sang Guru dan Tuhan membuat aku melenggang bebas dengan rencana penjualan Yesus, Sang Guru dan Tuhan itu kepada para imam kepala Bangsa Yahudi. Harganya lumayan, 30 keping perak. Suatu harga fantastis. Jika dikhayal dalam bentuk rupiah maka setara 300 triliun. Ya, dengan uang itu, aku dapat berbuat sesuatu “yang lebih,” yakni membeli jabatan dan kedudukan atau biaya suatu perjuangan politik untuk dipilih menjadi Raja di Yudea menggantikan Guruku yang sedang memproklamirkan Kerjaan Allah di dunia ini.

Dari mana biaya? Dari mana duit di dapat ? Sebagai bendahara “Kelompok Yesus, aku punya cara.” 

Aku sudah menyimpan sejumlah uang walau belum cukup. “Aku mencurinya jika ada pemasukan berupa fee, hadiah/ hibah dan keuntungan.” Misalnya dari perusahaan penangkapan ikan. “Ingat !” gumamku dalam diam: “saudara-saudaraku; Petrus, dan Andreas, Yakobus dan Yohanes punya perusahaan ikan yang bonfide sepanjang Danau Tiberias, di Galilea.” Duit masuk ke simpananku dari sana.

Sesungguhnya duitku sudah cukup untuk suatu perjuangan politis, jika tidak dihalangi Yesus. “Ingat perisitiwa di Betania ?” (Bdk. Yoh. 12:1-8). Jika wewangian narwastu murni tidak dituangkan ke kaki Yesus, dan mengikuti anjuranku untuk dijual dan hasilnya dibagi-bagikan kepada orang miskin maka sudah kujual dengan harga tinggi dan sebagian keuntungan kuambil untuk keperluan biaya politikku mengkudeta Yesus yang sedang siap-siap menjadi Raja Bangsa Yahudi. 

Tambahan dana ke simpananku sesungguhnya telah juga mencapai target jika tidak ada kisah “perbanyakan roti” pada saat aku mengikutiNya mensosialisasikan aturan kerajaan Allah. Semua ini gara￾gara Filipus. “Jika ia tidak beralasan bahwa uang sebesar 200 dinar tidak cukup untuk memberi makan kepada 5000 orang laki-laki yang hadir belum terhitung perempun dan anak-anak, dan mengikuti saja perintahNya: “Kamu harus memberi mereka makan !” maka jelas sebagai bendahara aku akan mendapat fee yang besar, “untung gede” tatkala bernegosiasi mendatangkan makanan untuk 5000 orang laki-laki belum terhitung perempuan dan anak-anak, (Bdk. Mat. 14:13-21; Yoh. 6:1-13). 

Walau uang masih dalam proses pencapaian target maksimal dan taksasinya tinggal 30 keping perak lagi untuk menggenapi tujuan politis itu. Aku perlu menepuk dada karena telah membeli sebidang tanah, (bdk. Kis. 1:18-19).

 Ceritanya untuk investasi pembangunan istana jika perjuangan politiku berhasil: “Menjadi raja bangsa Yahudi,” niatku. Aku ingin tawaran yang ke 2 yang disampaikan sang pencoba kepada Sang Guru tatkala usai IA berpuasa, “Kerajaan Dunia dengan segala keindahannya,” (Bdk. Luk. 4:5-7).

Semua kita tahu, The dream does not come true. Impian Yudas Iskariot tidak menjadi nyata. Setelah The Last Supper, dan menandai Yesus dengan ciuman di Taman Getsemani untuk di tangkap para algojo dan diserahkan kepada pemimpin bangsa Yahaudi dengan imbalan 300 keping perak, Yudas akhirnya menyesal.

Cakar dan godaan iblis yang mengakar kuat di bathin jiwanya tercabut dan menyadarkan dia akan perbuatannya. Terlambat memang datangnya, lalu apa mau dikata.

Pada moment ini kita coba meneropong diri pribadi Yudas yang mulai dicahayai Api Penyucian dari surga. Rasa penyesalan datang padanya, ketika menyaksikan “Kesengsaraan, Derita dan Wafat Yesus yang ia sapa Guru, di salib. Lakunya menghianati itu, sadis, namun sengsara Sang Guru merobek daya nalarnya yang egoistik dan logika berpikirnya yang super koruptif di lingkunganya sendiri untuk diri dan kepentingannya.

Hasil akhir tipu muslihatnya, perilaku pencurinya, watak penghianatnya, sikap pura-puranya dan kelihaiannya dalam menangkap peluang membengkakan pundi-pundinya mengantarnya pada tindakannya melemparkan kembali uang haram hasil jual Yesus ke Bait Allah dan pergi membunuh diri dengan menggantung diri di tanah yang ia beli dengan uang haram. Siapa yang peduli padanya? Ia bukan putera terbaik dari Keriot, kota di Seatan Yudea. “Engkau juga Yudas ?” Pewaris akhlaknya ? *** 



Iklan

Iklan