Kritik Dalam Perspektif Kemerdekaan


            Oleh Didi Nongsay*

Klaim Ungkapan merdeka secara umum bisa dimaknai sebagai suatu  eksistensi  independen subyektif yang menafikkan segala bentuk relasi eksploitatif de l'homme par l'homme, sistem dominan subordinan, homo homini lupus dan seterusnya. Pengakuan atau penerimaan terhadap eksistensi independensi subyektif dalam aspek relasionalitas  semestinya justru memberi peluang dan ruang seluasnya bagi setiap bentuk partisipasi dan kontribusi. Dengan demikian secara khusus, ungkapan merdeka mencakup pula pada pengertian kebebasan berpendapat.

Dalam konteks hubungan antara pemerintah dan rakyat kerap muncul suatu  fenomena kekuasaan yaitu  kecenderungan pihak pemegang kuasa untuk melakukan klaim eksklusif atas suatu makna, nilai, norma, hukum dan hal hal praksis terkait kehidupan bersama. Ini sebuah kecenderungan yang wajar muncul dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi yang diafirmasi dengan kekuasaan otonomis. Suatu kecenderungan yang kerap meresonansikan kepentingan sepihak pemegang kuasa. The winner takes all. 

Menyadari kecenderungan masturbasi kekuasaan ini seharusnya semua pihak berupaya mengembangkan sekaligus memperkuat sistem dan budaya kontrol yang objektif. Dengan demikian masyarakat tidak terus terkungkung oleh penjajahan seperti kemiskinan dan ketertinggalan sebagaimana dimaksudkan oleh kemerdekaan bangsa itu sendiri .

Sebuah klaim berlatar kekuasaan umumnya memiliki sifat dan ciri seperti korup, eksklusif, bahkan absolut. Sifat sifat negatif ini pada gilirannya akan selfdestructive. Penganut feodalisme dan penguasa tiran terbukti jatuh bertumbangan tanpa legacy karena pongah mengklaim l'etat c'est moi atau the king can do no wrong. Anti kritik adalah sikap dan perilaku khas diktator sok tahu sok benar yang suka main klaim. Abuse of power mudah terjadi ketika pasal karet bersanding dengan diskresi subyektif.

Miris. Dewasa ini terdapat model penguasa  yang suka main klaim sekaligus anti kritik  namun justru tampak menjadi begitu naif, sarat emosi dan baperan bila di challenge dengan berbagai dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Efek koneksitas dari teknologi komunikasi dan informasi sungguh dashyat, mem bully  menelanjangi, membentuk opini.

Seruan Profetik

Esensi kenabian sejatinya kritikal. Seruan profetik biasanya hadir dalam realitas kehidupan yang rentan melenceng, jauh dari harapan dan cita cita. Seruan seperti ini tidak selalu menyenangkan raja. Alih alih menempatkan nabi sebagai mitra kritis strategis, raja penguasa sebaliknya suka menyikapi nabi sebagai musuh. Namun, upaya pembungkaman oleh raja penguasa tak pernah bisa menyurutkan kelahiran nabi nabi baru. Itulah ringkasan ceritera sebuah kitab suci. Kekuatan dari sebuah seruan profetik terletak pada dimensinya. Sekaligus aspiratif (fakta dan data) dan idealis (jalan dan kebenaran), maka kerap disebut vox populi vox dei. 

Berbagai giat civil society yang muncul dewasa ini sedikit banyak diinspirasi oleh peran  dan fungsi kenabian itu. Konstitusi dan Human Rights menggaransi kemerdekaan berpendapat. Oleh karena itu, setiap penguasa diharapkan dapat menjadi pemimpin yang jujur dan memiliki diskresi ketika berhadapan dengan kritik. Pemimpin harus tahu mana padi mana ilalang.  Mana nabi sejati yang bisa menjadi mitra, mana nabi palsu pemungut remah. Bila tujuan suatu kemerdekaan bangsa adalah bonum communae, maka hubungan penguasa dan mitra kritis seharusnya mutualis. Seorang pengeritik yang aspiratif sekaligus idealis tidak perlu dikriminalisasi atau dimunirkan. Bung Karno dan Hatta sendiri dipenjara Belanda karena kedua proklamator itu berpendapat menentang keserakahan kolonialisme yang menghisap. Indonesia sudah merdeka saat ini.

Malas + Bodoh = Miskin

Bila kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kesejahteraan, maka pernyataan terkait kemiskinan sebagai hasil penjumlahan dari kemalasan dan kebodohan terasa tidak pas karena terkesan melarikan diri dari tanggungjawab. Perintah konstitusi berbunyi bahwa negara bertujuan mencerdaskan, membawa kesejahteraan rakyat, dan seterusnya.

Konon, alkohol dan prostitusi berbarengan dengan program transmigrasi yang masif adalah upaya struktural untuk melemahkan orang asli papua. Menjadi bodoh dan malas dan selanjutnya menimbulkan kemiskinan. Begitu juga dampak dana otsus dan penempatan APH kw kw. Semua bentuk kehadiran negara di Papua selama ini seakan menegaskan asumsi bahwa terjadi pelemahan struktural sistematis agar kekayaan Papua bisa dieksploitasi tanpa hambatan.

Seorang pemimpin di Amerika Latin yang dikenal memiliki karakter servant leadership pernah berkata bahwa politik dan kekuasaan adalah tempat yang tepat untuk the exercise of the faith. Ketika rakyat bodoh, berilah sekolah dan pendidikan. Ketika rakyat malas  bukalah lapangan pekerjaan, latihlah mereka disiplin dan etos kerja. Dengan demikian kemiskinan cepat teratasi...

MERDEKA!!!

*Pemerhati Sosial Budaya Tinggal di Jakarta

*Tim Penggagas berdirinya JAPAK INDONESIA (Jaringan Advokasi Pembela Aktivis Kriminalisasi Penguasa Indonesia)

Iklan

Iklan