Secangkir Air Sejuk : Penyataan Berkat Allah ( Refleksi Minggu Biasa XIII)

Oleh
Germanus Attawuwur

Air adalah jumlah yang paling besar yang terdapat di dalam mahkluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan). Khususnya manusia lebih dari 1/2 tubuh manusia berisi cairan. Itu sebabnya air adalah kebutuhan yang sangat vital bagi manusia. Manusia pada umumnya membutuhkan cairan untuk tubuhnya minimal 8 gelas sehari. Air sungguh menjadi kebutuhan utama dalam hidup manusia. Air simbol kehidupan. Tanpa air manusia tidak bisa hidup. Karena itu siapapun dia manusia itu, entah laki atau perempuan, entah pejabat besar maupun rakyat pinggiran, semua pasti membutuhkan air. 

Dalam Alkitab, daerah yang sangat sedikit sumber airnya adalah Timur Tengah, karena di sana 
terdapat banyak padang gurun. Karena itu bagi orang-orang Timur Tengah, kebutuhan akan air sangat penting. Air menjadi sangat langkah dan karena itu sangat berharga. Dari konteks inilah maka muncul ajaran Yesus kepada para murid-Nya, sebagaimana kita baca dalam Mat. 10:37-42,” Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah 
seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan 
kehilangan upahnya dari padanya." Yesus menggunakan kata-kata barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun, mau menggambarkan konteks itu. Bahwa air amat langkah dan 
berharga di daerah Timur Tengah tak terkecuali di Palestina, yang merupakan tempat hidup dan 
karya pewartaan Yesus. Maka begitu mendapatkan “secangkir air” seseorang merasa bahwa dia 
adalah orang yang beruntung dan bahkan menjadi orang yang terberkati. Karena itu baik Nabi 
Daud maupun nabi Yesaya menyebut Air sebagai lambang berkat Tuhan dan penyegaran rohani (Mzm. 23:2; Yes.32:2). Bahkan Kitab Wahyu menyelaraskan Air dengan Hidup Kekal yang adalah berkat tertinggi yang diberikan Allah (Wahyu 7:17;21:6;22:117). Maka memberikan secangkir air 
sejuk saja pun adalah penyataan berkat Allah.

Menjadi terberkati dan menjadi berkat bagi orang lain sebagai penyataan berkat Allah sangat 
relevan dengan pengalaman nabi Elisa dengan perempuan Sunem dalam bacaan 2 Raj.4:8-11.14-
16a. Upah perbuatan baik perempuan kaya itu adalah mendapatkan seorang anak laki-laki yang tentu sangat ia dambakan, yang pasti sangat dirindukannya, yang merupakan “upah dari perbuatan baiknya.” Perempuan ini akhirnya tercatat sebagai wanita hebat dialam Perjanjian Lama. Ia menjadi perempuan yang unggul tidak saja pada zamannya melainkan juga pada zaman sekarang dan yang akan datang, karena ia berkenan kepada Tuhan.

Apa yang dilakukan oleh perempuan Sunem dan apa yang diajarkan Yesus dalam injil tadi adalah soal berbuat baik. Bahwa Berbuat baik itu adalah kewajiban. Namun kewajiban ini bisa saja terhalangi oleh urusan-urusan keluarga. Urusan keluarga yang diprioritaskan seperti misalnyalebih memperhatikan bapa, mama, anak-anak, saudara dan saudari kadang menjadi tembok pemisah atau jurang pemisah bagi kita untuk berbuat baik. Bahwa kadang kita lebih memilih keluarga, orang tua sebagai prioritas untuk berbuat baik, lalu yang lain yang bukan keluarga diabaikan. Sadar akan hal itu maka Yesus jauh-jauh hari sudah mengingatkan murid-murid-Nya:” Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.”

Yesus tidak mengajarkan kita untuk membenci sanak keluarga. Namun point penting yang 
hendak ditekankan Yesus adalah keseimbangan. Tidak boleh berat sebelah. Musti berlaku adil. 
Maka bila pilihan kita untuk mendahulukan kepentingan keluarga, sama sekali tidak boleh 
mengabaikan perbuatan baik kita kepada orang lain, tanpa pandang bulu, sebagaimana yang 
dicontohkan Perempuan Sunem, dalam injil tadi. Nabi Elisa bukan kenalanannya, bukan pula 
karibnya, apalagi kerabatnya. Elisa cumalah orang asing di negeri Sunem. Maka ia tergerak 
hatinya untuk berbela rasa, untuk peduli dengan Elisa. Dia segera menunjukkan hospitalitasnya. 
Ia ungkapkan keramahtamaan dan baik budinya dengan mengundang Elisa dan hambanya. 

Karena itu, tanpa pertimbangan untung rugi, dia langsung menyiapkan “kebutuhan dasar” sang Abdi Allah. “Baiklah kita membuat sebuah kamar atas yang kecil yang berdinding batu, dan 
baiklah kita menaruh di sana baginya sebuah tempat tidur, sebuah meja, sebuah kursi dan 
sebuah kandil.”

Pasca kita terkungkung dalam hantaman badai corona virus, pemerintah negeri ini akhirnya 
mengeluarkan kebijakan bahwa mau tidak mau kita harus hidup “berdampingan” dengan virus 
corona. Maka kita pun telah masuk dan kini berada pada era New Normal. Sekalipun demikian 
hemat saya, kita berada dalam era new normal yang abnormal. Mengapa? Karena badai itu masih 
terus menghantui kita. Kita masih tercengkeram oleh kecemasan dan ketakutan. 

Para pasien covid-19 masih berbaring lemas di Rumah Sakit-Rumah Sakit. Kemudian itu. masih ada saudara-saudari kita yang kehilangan pekerjaannya. Akhirnya, mereka sulit mencukupi kebutuhan dasarnya. Ketersediaan pangan bagi mereka menjadi kebutuhan urgen yang harus segera tercukupkan. Maka apa yang harus kita lakukan? Kita tidak boleh malas tahu. Kita tidak boleh berdiam diri. Kita harus bergerak sekarang ini juga. Kita harus lakukan aksi kemanusiaan. Kita musti berbelarasa. Kita harus manunggal dengan penderitaan sama saudara kita. 

Maka dari itu kita semua, anda dan juga saya, harus menjadi seperti “Perempuan Sunem” zaman now. Kita berlomba-lomba berbuat baik untuk hayati ajaran Yesus:” Barangsiapa memberi “air sejuk secangkir sajapun” kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata 
kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya."***(GSA).


Iklan

Iklan