Merajut Yang Tersobek Minggu Komunikasi Sedunia (Injil Yohanes: 17:1-11a)


Oleh :
Germanus S. Attawuwur

Renungan: Sudah menjadi kebiasaan Gereja Katolik bahwa pada Hari Minggu Paskah Ketujuh, diperingati sebagai hari Komunikasi Sedunia. Maka hari ini kita memperingati Minggu Komunikasi Sedunia yang ke-54. Tema Minggu Komunikasi Sedunia tahun ini adalah:” HIDUP MENJADI CERITA,” (Menjahit Kembali yang Putus dan Terbelah), yang terinspirasi dari Kitab Keluaran 10:2.

Dalam suratnya pada point pertama Paus menulis bahwa:”Manusia adalah makhluk pencerita. Dia sebagai 
makhluk pencerita karena dia adalah mahkluk yang berkembang yang dalam perjalanan hidupnya diperkaya oleh berbagai alur cerita. Karena itu, sejak kecil tanpa disadari kita “lapar” akan cerita sebagaimana lapar akan makanan. Ceritera-cerita itu membekas dan mempengaruhi keyakinan serta perilaku kita.” 

Sementara itu pada butir ketiga beliau menulis bahwa:” Kitab Suci adalah cerita dari segala cerita. Betapa banyaknya peristiwa bangsa dan pribadi yang dikisahkan kepada kita. Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula, Allah Sang Pencipta sekaligus adalah Narator. Sungguh, Ia mengucapkan sabda-Nya dan segala sesuatu ada (Bdk. Kej. 1). Melalui narasi yang dibuat-Nya Allah memanggil segala sesuatu kepada kehidupan. Dan pada puncaknya, Ia menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai rekan dialog-Nya yang bebas.

Pada bagian terakhir dari point itu, Paus akhirnya mengatakan bahwa :” Injil juga merupakan cerita. Ia menyampaikan informasi sekaligus “menunjukkan”kepada kita siapa Yesus, dan membuat kita sesuai pada-Nya.” Kemudian beliau melanjutkan bahwa:” Injil Yohanes mengatakan narator yang sesuangguhnya - Sang Sabda – itu sendiri menjadi cerita (Yoh.1:18). Allah secara pribadi telah membuat diri-Nya terajut ke dalam kemanuisaan kita, yang memberi cara baru merajut cerita-cerita kita.” 

Pada Hari Minggu Komunikasi Sedunia ini, kita mendengar cerita penginjil Yohanes tentang Doa Yesus untuk murid-murid-Nya, juga untuk mereka yang percaya kepada-Nya (Yoh. 17:9.20). “Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu dan segala milik-Ku adalah milik-Mu dan milik-Mu adalah milik-Ku, dan Aku telah dipermuliakan di dalam mereka. Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita (Yoh.19:9-11).”

Yesus sebagai Putra mengkomunikasikan pesan-Nya kepada Bapa-Nya melalui Doa. Yesus tidak minta kepada Bapa-Nya dengan cara lain, selain dengan doa. Karena bagi Yesus, Doa menjadi moment sakral, sebuah perjumpaan personal yang sedemikian intim-mesra antara Dia dan Bapa-Nya. Karena itu, Dia minta, Dia komunikasikan dalam suasana sunyi, hening, tanpa hingar bingar. Hanya dalam suasana seperti itulah, kata-kata tidak hanya sekedar kata-kata, tetapi dia menjadi sebuah personifikasi diri. Karena yang bercerita, karena yang berkomunikasi adalah HATI. Dua hati saling padu dalam komunikasi itu. Dan keduanya kemudian saling memahami dalam dialog tersebut. Yesus percaya, Bapa-Nya pasti mengabulkan apa yang Dia minta. Kita hendak mempelajari model komunikasi Yesyu dengan Bapa-Nya dalam bantuk Doa. Karena doa adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan. 

Dalam kesadaran itu, komunikasi bisa terucap, tetapi dapat pula tidak terucap. Karena yang pokok adalah mengalami dan merasakan kehadiran Tuhan. Begitu kita mengalami kehadiran Allah, kita langsung berkomunikasi dengan-Nya. Kita bercerita kepada-Nya. Maka, ketenangan adalah syarat mutlak dalam sebuah doa. Dalam keheningan Yesus berdoa untuk murid-murid-Nya:” Supaya mereka dipelihara oleh Allah dan dipersatukan oleh Allah sebagaimana Dia dan Bapa bersatu. “

Di Minggu Komunikasi ini, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita pun perlu melakukan komunikasi dengan Allah. Kita bercerita dengan-Nya. Entah dengan kata, ataupun tanpa kata, bahkan dapat pula dengan ratap dan air mata. Namun apa yang musti diceritakan pada Sang Narator Ulung? Agar cerita kita didengarkan sang Narator Ulung, maka model komunikasi Yesus perlu jadi patron komunikasi kita dengan Bapa. Patron itu adalah “mengesampingkan terlebih dahulu” kepentingan-Nya. Dia mengutamakan kepentingan murid-murid-Nya, yakni agar mereka semua tetap bersatu. Jadi, dalam komunikasi tertentu, dalam situasi tertentu, monopoli kepentingan diri patut disingkirkan. 

Kita perlu patron komunikasi altruis, demi kepentingan “orang lain.” Maka tidak berlebihan, apabila pada Hari Komunikasi Sedunia, yang bertepatan dengan Hari Pertama Idul Fitrii, kita berkomunikasi dengan sesama kita umat muslim, menyatakan sukacita kita atas kemenangannya, setelah sebulan menjalankan ibadah puasa, sambil kita mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, seraya memohon "Minal 'Aidin wal Faizin," – mohon maaf lahir bathin -. tanpa harus bersilahturami lantaran pandemi corona virus. Tak lupa pula, kita doakan sama saudara korban corona virus, mereka yang mengalami PHK, mereka yang sedang gelisah lantaran tak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Sambil itu pula, kita memohon belaskasih dan pengampunan-Nya karena kita telah melukai bumi saudara kita. 

Kita berdoa untuk bumi yang telah terluka karena ulah serakah manusia, sehingga ia mampu kembali untuk memberikan keindahan, sanggup memberikan 
kesejahteraan dan mampu menjadi rumah besar kita yang aman dan nyaman. Mari kita merajut keesaan dengan sesama, kita terus menjahit kembali yang putus, kita tetap merenda yang terbelah, kita tenun yang terurai, kita padukan yang tercecer lepas, agar menjadi sebuah perpaduan yang harmonis. 

Kesatuan yang harmonis, yang tercipta antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungannya. Persatuan model itulah yang menjadi doa Yesus untuk murid-murid-Nya dan juga untuk kita sekalian yang percaya kepada-Nya:” Supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita (Yoh.17:11).”***(GSA)

Iklan

Iklan