COVID-19, ANTARA REAKSI DAN DUGAAN



 Oleh Vinsens Hayon – ASN Kemenag Kab. Kupang

KUPANG. MT.NET-  Berita di radio, televisi, dan di media sosial lain seperti; wahtsap,
video youtube dan sejenisnya, berkaitan dengan instruksi presiden dan/ atau himbauan
protokoler pemerintah; “tinggal di rumah” dan “pakai masker” masih sering diacuhkan warga
masyarakat, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Sikap acuh dimaksud di atas, memberi bukti bahwa upaya memutus rantai penyebaran
virus korona dengan dua cara itu masih jauh dari harapan. Artinya, garis finis “Indonesia Zona Hijau”, masih jauh untuk disentuh.

Virus korona seperti sutau kisah fiksi -realitas fiktif bagi “kelompok acuh” itu, dan bukan suatu realitas obyektif yang sedang merundung dunia, bangsa kita, dan siapa saja tanpa pandang bulu. Sebagai realitas obeyektif, virus ini sangat mempegaruhi nalar manusia untuk mencari suatu penjelasan kausal dan logis. Ikutannya, aneka reaksi dan dugaan muncul .

Pertama, Soal reaksi. Kaum agamis menanggapi virus ini secara berbeda. Para penganut
animis dan politeis yang memandang dunia sebagai tempat bermain banyak “kekuatan” yang berbeda, meyakini bahwa kehadiran virus ini sebagai “permainan” dari salah satu kekuatan.

Para penganut monoteis meyakini bahwa bahaya (virus korona) adalah hukuman dewa
tunggal, karena keserakahan telah mewarnai sikap laku penganutnya. Jadi terserang virus korona adalah sesuatu yang wajar dan harus diterima.

Para penganut agama dualis yang percaya pada dewa jahat dan dewa baik mengamini,
bahwa dewa jahat telah menabur virus ini ke alam hunian penganutnya. Karena itu untuk pemulihan keadaan, perlu sesaji sembah.

Kelompok ateis, sangat mungkin memahami peristiwa ini sebagai tantangan bagi
rasionalitas mereka. Ini bukan kemarahan Ilahi tetapi karena manusia tidak kompeten.
Sementara penganut agama modern, seperti yang disinyalir dari beberapa media sosial, sedang menawarkan keyakinan bahwa tanda-tanda akhir zaman sudah di “ambang pintu”. Lain lagi menyatakan, bahwa cobaan, ujian dan hukuman Tuhan telah nyata bagi umatNya. Menurut
para saleh dan bijak, “sikap angkuh” telah menjadi biang kerok kehadiran virus corona ini.

Kedua, Soal dugaan. Ahli sejarah Yunani, seperti Herodotus dan Thucydides –
sendainya masih hidup- merevitalisasi jalan pikian ini, “jika virus pembunuh ini merupakan evolusi alam berdasarkan prinsip mutasi dan seleksi maka perlu dikembangkan teori bersifat
kausal untuk menelusuri dari mana asal virus ini.

Para ahli sains China -juga kelompok pro China- tidak berpendapat lain selain
mengikuti jejak Sima Qian (c.145-c 86 SM), sejarawan dari Dinasti Han, yaitu menjelaskan
faktor-faktor politik, sosial, dan ekonomi yang melatari hadirnya virus korona ini.

Kaum Flatearth, tidak sebatas menduga, bahkan berpendapat bahwa virus ini merupakan bagian dari konspirasi elit global. Benar tidaknya, masih mungkin. Tetapi karena dukungan berita media sosial (https://youtu.be/izgmPFcXYdw, 27/4/20/,08.35, Wita) yang
mengungkapkan, tertangkapnya Dr. Charles Lieber dari Havard University, ilmuwan pembuat
virus korona dan menjual virus ini ke China, maka kemungkinan „salah‟ bisa ditepis. Bagaimana dengan pendapat Prof. Dr. Tasuku Honjo, dari Jepang yang mengatakan, bahwa
virus corona tidak berasal dari hewan, kelelawar (https://en.m.wikipedia.org/wiki/
Tasuko_Honjo /25/4/20, 23:25 Wita). Berita ini setelah ditelusuri adalah hoaks, tetapi sedikit banyak telah mendukung dugaan para pencari akar persoalan munculnya virus korona ini.

Dugaan dan pendapat di atas seperti bertolak belakang dengan pemahaman ilmuwan
modern(Kompas.com.24/4/20,18.35) yang menyebutkan bahwa kelelawar dan sejumlah
kelompok mamalia lain merupakan pembawa virus korona ini, oleh karena itu hewan kelelawar
yang paling bertanggung jawab atas wabah ini.

Jika kaum Flatearth, Lieber dan Honjo (umpama) dirujuk menjadi kebenaran obyektif
maka pertanyaanya, apa dan siapa yang harus bertanggung jawab atas pandemi Covid-19 ini? Atas mereka yang terpapar Covid-19 dan beribu-juta nyawah yang hilang akibat Covid-19 ? Dalam bukunya “Homo Deus”, Harari menulis bahwa bahwa ada tiga masalah besar pada beberapa puluh tahun sebelum pandemi Covid-19, yakni: kelaparan, perang, dan wabah (sampar, pest dan kolera) selalu ada dipuncak daftar.

Pertama, Soal kelaparan, diungkapkan bahwa “Tidak ada bencana kelaparan alamiah di
dunia, yang ada hanya bencana kelaparan politik. Jika orang-orang di Suriah, Sudan atau
Somalia mati kelaparan, itu karena sebagian politisi menginginkannya. Kebanyakan orang kini tidak pernah mengalami siksaan –kelaparan yang mengerikan ini. Bahkan bahwa di sebagian besar negara masa kini, kelebihan makan telah menjadi masalah yang jauh lebih buruk ketimbang bencana kelaparan. Data tahun 2010, menunjukkan obesitas (kelebihan gizi) membunuh tiga juta orang, lebih banyak dari pada kelaparan –kurang gizi, hanya satu juta orang.

Kedua, Soal perang. Hakekat perang adalah ketiadaan belas kasih dan meniadakan
cinta kasih. Realita ini sangat menguat dan didukung oleh nafsu berkuasa atas sesama, menjaga ego pribadi dan wilayah serta menguat pada alibi untuk mengayomi keamanan diri (kekuasaan), warga dan wilayah. Kedamaian diperoleh melalui perang -si vis pacem para belum (Ungkapan Latin). Harari mencatat, bahwa perang sebagai bukti kekuatan Hukum Rimba itu telah berubah, namun “di paruh kedua abad ke-20 ini, Hukum Rimba ini akhirnya
dilanggar –kalau bukan dihapuskan.”

Ketiga, Soal wabah. Kemampuan mengendalikan wabah dengan menciptakan vaksin dan berbagai sarana kesehatan telah membantu manusia menjaga populasi manusia sampai memasuki tahun 2019. Juga karena kemajuan (teknologi, ekonomi dan politik) dan kerja ulet
manusia; perang, kelaparan, dan wabah sebelum abad 21 yang jadi masalah besar selalu dengan mudah diatasi, ungkap Harari.

Bagaimana dengan wabah virus korona? Ini pertanyaan yang menantang warga dunia postmodern, yang selalu mengukur kehebatannya pada skala kemajuan di bidang sains dan kecanggihan teknologi –kesehatan, namun seperti kewalahan dalam mengatisipasi,
membendung dan melawannya secara frontal dan cepat. Mengapa ? Jawaban reflektifnya:

Apakah karena kegagalan mendeteksi lebih dini virus yang merebak seturut evolusi alami berdasarkan prinsip mutasi dan seleksi ? Ataukah karena kurang tajam atau ketiadaan otorita menghadapi teori dan konspirasi para elit yang berusaha merusak tatanan „bonum commune?‟ Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan ada usai pandemi.

Apakah manusia pada abad ini lebih memberi perhatian penuh pada pertumbuhan ekonomi dari pada stabilitas ekologi. Pada hal jika para politisi, CEO, dan para warga pendukung setia menjaga keseimbangan ekologis di abad ke-21 ini, dengan melakukan hal-hal
yang lebih maju dan manusiawi, serta dengan lebih baik mempertibangkan hal-hal ekologis maka terhindarlah umat manusia dari bencana baru dan mondial sifatnya. Wabah ini sebagai bencana baru? Sangat boleh jadi !

Covid-19 adalah masalah kita bersama hic et nuch, sehingga antara reaksi dan dugaan
terbaca jelas sikap tanggap manusiawi yang wajar. Persoalan duga-menduga dan memberi reaksi lahir dari refleksi alami yang sah baik personal atau komunal sifatnya. Sebagai warga bangsa tercinta ini, reaksi positif sangat diharapkan atas realitas obeyektif ini dengan taat dan
patuh pada insturksi atau himbaun protokol pemerintah; stay at home, gunakan masker, social distancing, dan cuci tangan, demi memutuskan rantai penyebaran virus korona. Kita juga diharapkan, hindari kumpul-kumpul, perkuat imun tubuh dan tetaplah berdoa. Kita lakukan Work from Home, sekolah dari rumah (online) dan kegiatan doa/ ibadah di rumah. Kita taat, kita segera capai garis finis, “Indonesia Zona Hijau.” Selamat dan bebas dari Covid-19. ***

Iklan

Iklan