'Berdamai' dengan covid. Mungkinkah?

      

 Oleh: Isidorus Lilijawa 

KUPANG,MT.NET- SEJAK awal hadirnya covid di tanah air dan NTT, kita sudah pekikan semangat berperang melawan covid. Narasi dan literasi kita hingga seminggu terakhir ini adalah lawan covid. Genderang perang sudah ditabuh dari pusat hingga daerah. Seluruh energi, fokus dan kekuatan kita benar-benar diarahkan untuk berperang melawan covid. Secara medis kita persiapkan banyak amunisi. Secara ekonomi, triliunan rupiah digelontorkan. Covid adalah musuh bersama. Yang tidak kelihatan tapi berbahaya. Maka narasi terhadap covid alurnya negatif karena ia thanatos (membawa daya mematikan). Namun ketika tiba-tiba narasi dibalikkan, berdamailah dengan covid, apa yang anda pikirkan? Narasi itu memang mudah terucap. Ia juga bisa memicu literasi terbalik. Tetapi merealisasikan 'berdamai' dengan covid memang tidak semudah narasi dan literasi. Kita yang dari ramai-ramai dalam gerbong hastag #lawancovid, berubah menjadi #berdamaidgncovid, butuh proses konsientisasi (penyadaran) dan pendalaman.

Berdamai dengan covid mungkin seperti kisah antara merpati dan ular dalam perspektif filsafat Imanuel Kant. Tentang tulus seperti merpati dan licik seperti ular, Kant menulis: merpati dan ular dapat tidur bersama. Tetapi merpati akan sulit tidur dan tak mungkin nyenyak. Mengapa? Karena merpati tahu bahwa 'berdamai' antara dirinya dan ular harus dibangun dalam kewaspadaan dan kesiagaan tingkat tinggi. Karena kalau ia tidur bersama ular dan nyenyak, maka bisa jadi ia adalah mangsa terempuk bagi ular itu. Analogi dengan himbauan berdamai dengan covid, saya pikir berdamai itu tetap dalam konteks kewaspadaan dan kesiagaan tingkat tinggi. Kita boleh berdamai dan berdampingan dengan covid, tetapi kita harus tetap dalam kepatuhan pada protokol kesehatan: pakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan, dan lain-lain. Tanpa itu, berdamai dengan covid hanyalah narasi yang akan melahirkan litani-litani tragedi bagi kemanusiaan.

Itu berarti, berdamai dengan covid bukan berarti kita menyerah kalah, buang handuk pada covid. Bukan. Tidak juga berarti covid sudah kalah atau covid telah pergi. Tidak. Narasi dan literasi perihal berdamai dengan covid harus jelas dan benar. Covid masih ada di sekitar kita. Bahkan ia akan ada bertahun-tahun ke depan. Obat anti covid belum ada. Artinya kita harus siaga agar tidak jadi korban covid. Di lain sisi,  hidup harus berlanjut. Maka kita tidak bisa terus mengurung diri di rumah. Terlalu lama bisa akibatkan kematian dan kefatalan lain karena dampak sosial dan ekonomi menyerang kita. Kita harus beraktivitas seperti biasa dengan penyesuaian-penyesuaian pada tuntutan habitus baru oleh hadirnya covid.

Berdamai dengan covid akhirnya harus dipahami dalam teks dan konteks ini: melanjutkan hidup dalam masa pandemi sebagai orang-orang normal baru (new normal). Sebelum covid datang, kita adalah orang-orang normal. Kita beraktivitas seperti biasa. Bekerja di kantor, dan lain-lain. Belajar di sekolah, kuliah di kampus. Beribadah di gereja, mesjid, pura, wihara, klenteng. Jarak sosial dan fisik begitu rapat. Ke mana-mana tidak perlu masker. Cuci tangan bila perlu. Ini normal. Namun ketika covid mewabah, hal-hal normal tadi jadi tidak normal karena kita harus melakukan sebaliknya. Kenormalan itu menjadi era old normal. Sekarang kita didorong untuk masuk dalam zona baru, zona new normal. Artinya, yg normal dalam masa pandemi ini harus terus dilanjutkan dan menjadi kenormalan yang baru. Ke mana-mana pakai masker, tetap jaga jarak fisik, bekerja dari rumah, belajar di rumah, kuliah secara online, beribadah di rumah, hindari kerumunan, dll mesti jadi habitus kita agar bisa berdampingan dan berdamai dgn covid. Sederhananya, kita dan covid berjalan bersama tetapi covid tidak membahayakan kita karena kita dilindungi protokol kesehatan yang kita terapkan. 

Berdamai dengan covid mesti membuka mata indra dan mata batin kita bahwa hidup kita dimensinya luas. Tak hanya seputar covid atau corona. Kita harus terus melanjutkan perjuangan hidup bersama-sama orang lain agar pada saatnya dunia dan lingkungan kita terbebas dari covid. Mungkin melalui berdamai dengan covid, imunitas kita meningkat dan kita bisa memutus rantai penyebaran covid dalam perjuangan kolektif-kolegial. Salam sehat***(Iso)

Iklan

Iklan