LIDAH DAN TOBAT 
(Satu catatan reflektif)
Oleh Vinsens Hayon, Penyuluh Katolik di Kab. Kupang


KUPANG,MT.NET - ORANG yang suka berbicara atau yang suka omong,menurut penelitian yang dilakukan Tahun 2007 oleh
periset dari Arizona University, mengungkapkan bahwa, kira-kira kaum perempuan yang sukabicara, melontarkan 16.215.000 kata setiap hari dan laki-laki 15.669 kata perhari (Techno.okezone.com.7/4/20).

Riset di atas, bagi seorang filsuf menjadi refleksi yang panjang dan mendalam. Hasil refleksi itu lahir dalam beberapa pertanyaan, sebagai berikut; Mengapa harus melontarkan kata-kata? Apa saja kata-kata yang dilontarkan? Kepada siapa kata-kata itu dilontarkan? Untuk apa kata-kata dilontarkan, dan bagaimana situasi fisik, physical gesture seseorang ketika melontarkan kata-kata itu ?

Pertanyaan lainya adalah bagaimana kondisi emosional bathin dan pikiran ketika melontarkan kata-kata
itu? Bagi seorang bijak, dia mengatakan; bukan soal banyak dan sedikit kata-kata yang dilontarkan tetapi apakah kata-kata yang terucap itu membawa pengaruh terhadap orang lain dan diri kita ? Apakah ada pengaruh positif dan negatif ? Bagi pemikir seperti seorang filsuf, dia akan bertanya mengapa kata-kata itu terucap. Dia mencari sebab-musebab bahkan mungkin tanpa memberikan jalan keluar.

Konon kisahnya; seorang Filsuf Yunani meminta pelayannya untuk memasak dan menghidangkan baginya santapan paling lezat. Berpikir sejenak, kemudian pelayannya bergegas memilah-milah aneka daging yang tersedia dan ia memilih daging lidah. Segera ia mengolah dan menghidangkan untuk sang filsuf. Kata pelayan, “Ini adalah hidangan terlezat di antara semua hidangan lain. Silahkan tuan menikmati !

Setelah menikmati, sang filsuf memuji masakan pelayannya. Sebagai filsuf ia tidak hanya memuji dan berpikir tetapi juga bertanya. “Mengapa saudara memilih hidangan daging lidah bagi saya?” Singkat, jawaban si
pelayan, “Karena hidangan ini mengingatkan saya, supaya dengan bijak menggunakan lidah. Lidah di mana kata-kata akan dilontarkan hendaknya membawa hikmat, makna atau berkat dan sukacita bagi orang lain; Menghalau kesedihan, tidak membuat putus asah, dan mendatangkan keceriahan, tidak memfitnah tetapi memberi motivasi. Dari lidah tidak menimbulkan kemarahan tetapi keramahan, dari lidah, kata-kata yang dilontarkan tidak memicu aksi demo tetapi mendatangkan damai. Dari lidah kita, orang diajak untuk doa dan bukan menghasut untuk berjuang dengan berbagai cara hanya untuk doi, dan kemudian jadi hamba uang.” Oh…. Seperti itu? Balas sang Filsuf dan meneruskan lagi pekerjaanya sebagai pemikir.

Suatu ketika lagi, Sang Filsuf meminta kepada pelayannya untuk menyiapkan hidangan lagi. Tidak berpikir lama, si pelayan menyuguhkan menu yang sama, yakni daging lidah. “Ini hidangan biasa, dan menurut orang-orang, cocok untuk segala situasi”. Setelah menyiapkan hidangan di meja tuannya. Ia mempersilahkan tuannya mencicipi. Setelahnya menikmatinya Sang Filsuf memanggil pelayan dan berkata, “memang ini hidangan biasa, dan menurut saya tidak enak. “Mengapa kamu menyediakan daging lidah lagi untuk saya? tanya sang Filsuf.

Jawab pelayan, “Karena daging lidah ini mengingatkan saya dan tuan, bahwa kita bisa memakai lidah untuk melontarkan kata-kata negatif, yang melukai hati, menghancurkan reputasi, menciptakan pertikaian,
membuat kawan jadi lawan, membuat cinta menjadi benci, membuat persaudaraan menjadi permusuhan, bahkan membuat para penganut agama dan suku saling mendendam, keluarga dan bangsa berperang.” Oh….Seperti itu? Balas sang Filsuf sembari mengangguk. Kemudian Sang Filsuf berkata lanjut dengan pernyataan ini, “Karena dengan uraian kamu secara anagogik tentang daging lidah yang kamu paparkan kepada saya dan kemudian saya kaji berkaitan dengan ilmu sosial, ilmu agama, ilmu moral, filologi dan filsafat maka sekarang saya nyatakan, bahwa “Kamu lulus ujian dan bergelar Filsuf,” Kamu adalah Filsuf Muda, seorang pemikir muda. Sebagai Filsuf Muda yang telah lulus praktek bersama aku, kamu saya ajak untuk menyimpulkan, “apa kaitan antara daging lidah masakan kamu dengan kata-kata yang diucapkan para politisi dan penguasa dunia zaman sekarang; ungkapan itu adalah “Hari ini makan apa, besok makan di mana dan lusa makan siapa? Atau menurut Bahasa Credipeti. “Kita beri hidangan lezat untuk perut mereka, Kita kuasai perut mereka lalu besok dan seterusnya kita kuasai duit
mereka.”

Untuk memahami kata-kata si pelayan itu, kita tidak perlu makan daging lidah terlebih dahulu. Kita juga tidak perlu berpikir keras tentang kesimpulan mereka akan ungkapan para politisi dan penguasa zaman sekarang, “Hari ini makan apa, besok makan di mana dan lusa makan siapa?” tetapi sebaliknya dan sebaiknya, kita bercermin diri dan diajak untuk mendalami ungkapan Nabi Salomo sebagai berikut, “Ada orang yang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan” (bdk. Amsal 12:18). Kata kunci dari ayat tersebut bukanlah “lidah” atau “mulut” sesuai bahasa Kitab Amsal,” tetapi “lidah orang bijak” atau mulut atau kata-kata orang bijak. Artinya, lidah tidak dapat mengotor dirinya sendiri, hanya si pemiliknyalah yang memberi ruang dan peluang untuk mengotori dirinya dengan lidah, mulut atau kata-katanya sendiri sehingga bisa seperti tikaman pedang dan bisa mendatangkan kesembuhan. Untuk itu ajaran dalam Kitab Amsal (bdk. Amsal 12:19-20) menghendaki kita untuk mampu mengontrol diri dalam berkata-kata. “Siapa yang mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil. Tetapi siapa yang mengungkapkan saksi dusta dengan mulutnya, ia menyatakan tipu daya.”

Kita sekarang ada pada masa persiapan paskah. Kita sedang dalam lingkaran pekan suci. Yesus dalam Kabar Gembira-Nya hari ini untuk kita, melalui bacaa Injil Markus, menyadarkan kita akan pentingnya pendengaran dan perkataan kita. Jika Lidah kita tidak terikat dan telinga kita tidak tuli maka sehatlah kita. Kita tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Dan Yesus mengharapkan kita seperti orang yang dikisahkan oleh Penginjil Markus dalam injil tadi. Apa yang diharapkan Yesus; “Berkata-Kata dengan baik” (bdk Mrk.7:35). “Bibir yang mengatakan kebenaran, tetap untuk selamanya, tetapi lidah dusta hanya untuk sekejap mata. Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi Tuhan dan orang yang berkata benar tidak ditimpa bencana. Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati” ungkap Salamon dalam Amzal (bdk. Amsal 12:19-21. 15:4).

Untuk itu, saudari dan saudara; sesama beriman yang terkasih dalam Yesus, demi menjaga kata-kata kita, mulut kita dan lidah kita atau menurut harapan Yesus supaya kita tetap “Berkata-kata dengan baik,” selama masa persiapan menyongsong kemenangan dan kebangkitan di hari Paskah, ada dua cara sederhana yang kita buat agar kata-kata kita tidak menjerumuskan diri kita dan orang lain ke dalam kebinasaan dosa.

Dua cara praktis itu adalah Pertama, Doa. Doa dapat menghalangi kita untuk berkata-kata negatif, berkata-kata jahat, berkata-kata fitna, berkata-kata kotor, berkata-kata “miring” kepada orang lain, dan karena kata-kata itu dapat saja ia berbalik menyerang diri kita sendiri atau pribadi yang mengucapkannya. Kata-kata dapat jadi bumerang bagi si pengucap. Jadi jika kita emosi dan berkemauan, berkeinginan untuk berkata-kata negatif, jahat, fitnah dan sejenisnya kepada orang lain, pada saat yang sama kita berdoa untuk mereka, supaya tidak ada dosa yang terjadi tetapi hanya ada doa yang menghasilkan rahmat mengampuni.

Anjuran untuk berdoa saat hendak melontarkan kata-kata kotor dan lain-lain kepada orang lain, sama dengan mempraktekan ajaran Yesus dalam Mat 5:44, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Jadi Doa mampu meredam dan meredahkan amarah dan kata-kata negatifmu untuk orang lain. Doa menghalangi seseorang berbuat dosa lewat mulutnya, lewatkata-katanya. Dengan dan dalam doa ada kasih yang ditampakan, ada kekuatan yang menahan diri anda sehingga tidak jatuh dalam dosa. Dengan dan dalam doa ada jalan keluar yang menghidarkan diri dari serangan balik orang yang kita nista seara kelihatan dan tidak kelihatan dengan kata-kata. Dengan dan dalam doa ada kemenangan atas perbuatan mulut/lidah yang menjerumuskan. Hal terakhir ini sama dengan pepatah mama-mama di dapur, “Mulutmu harimaumu.”Atau “Mulut jaga badan”. Dengan dan dalam doa Tuhan hadir memberi berkat serta rahmat
bagi pengucap kata pujian dan hormat.

Kedua, Gigit Lidah. Menggigit lidah saat hendak melontarkan kata-kata jorok/ kotor/ jahat/ kritik menjatuhkan, dll. kepada orang lain, kepada sesama; misalkan cowok terhadap cewek dan sebaliknya, suami terhadap istri dan sebalikya, orangtua terhadap anak-anak dan sebaliknya, atasan terhadap bawahannya dan sebaliknya, pemimpin gereja terhadap umatnya dan sebaliknya adalah suatu ajaran asketis (ajaran penyikasaan diri untuk dapat rahmat dan tidak jatuh dalam dosa yang lebih besar dan berat). Ajaran ini menekankan PUASA untuk berkata-katajorok, kotor, jahat kepada orang lain atau orang yang paling dekat dengan anda.

Dalam kenyataan banyak di antara kita yang memuji sesamanya dengan kata-kata yang kurang berkenan. Seperti contoh. “Pak atau ibu itu, pintar ke tai sa, (pintar sekali).” “Opa itu, su tua, ma, bajingan (masih lincah gocek bola)”. “Oma itu kalo menari / bedansa di pesta, ke kode balompa (artinya lincah). Itu nona punya senyum, maut (artinya sangat menawan, bukan membuat orang mati), dll.

Atas semuanya itu Paus Benediktus menganjurkan, supaya kata-katamu, lidahmu tidak menjerumuskan engkau ke dalam dosa, maka praktekan cara sederhana ini; gigitlah lidahmu ketika berkata kotor, jorok/jahat kepada orang lain. Gigitlah lidahmu bahkan gigit sekuat-kuatnya sampai luka sehingga karena luka itu anda tidak bisa berkata-kata/ buka mulut untuk berbicara dan dalam diam anda selalu menyesali diri, kesalahan anda dan memuliakan Tuhan. Anjuran dari Yesus amat simple, dalam Markus (7:34), Jika pengikat lidah terlepas dan 
anda bisa berbicara; “berkata-katalah dengan baik !” Bagaimana selama ini sikap kita baik secara pribadi maupun secara kelompok terhadap orang lain, orang di sekitar kita, sesama kita?

Bagaimana persasaan hati kita kepada sesama sepanjang perjalanan hidup kita, yang tertuang lewat lontaran kata-kata kepada mereka. Mari ! masing-masing kita timbang menggunakan dacing kehidupan, berat mana; ke positif atau negatif ?

Jika kita menemukan arah jarum dacing ke positif maka pertahankan, bahkan tingkatkan. Tetapi jika yang kita temukan arah jarum dacing ke negatif, maka adalah tepat di masa persiapan paskah ini atau di masa puasa, kita dianjurkan agar lebih banyak BERPUASA berkata-kata kotor, jorok, jahat, jelek dan sejenisnya. 
Lebih banyak berdoa ketika hendak berucap kata-kata yang tidak baik dan menggigit lidah bahkan sampai luka jika hendak melontarkan kata-kata jahat, jorok, jelek kepada sesame terisitimewa kepada orang-orang yang kita kasihi. Semoga !***

Iklan

Iklan