DOSA KOLEKTIF DAN BANGKIT MEMUTUS PENYEBARAN C-19 (Catatan Reflektif Post Paskah)


Oleh Vinsens Hayon – Penyuluh Agama

KUPANG, MT. Net- C-19 (Covid-19) dengan ukuran 150 nanometer, telah menyerang
areal bumi seluas 510,1 juta km2 dan mengambil seribu-juta nyawah. Ia melanda dari daerah ke daerah, dari pulau ke pulau dan dari benua ke benua. Penyebarannya melalui manusia dan apa saja
yang bersinggungan dengan bagian tubuh manusia. Tercatat, mulanya di Wuhan, kemudian
menyerang ke beberapa negara dan akhirnya mendunia.
Gaya menularnya, cepat, sehingga terkesan tidak hanya menintimidasi kehidupan di alam raya ini tetapi berniat ekstrim, yakni mau membumihanguskan manusia. Jika dibandingkan dengan wabah kolera pada tahun 1820, yang menyerang Negara Indonesia, Thailand dan Philipina dengan
korban meninggal lebih dari 100.000 jiwa dan 100 tahun kemudian tepatnya tahun 1920, wabah jahat influenza yang melanda dunia dan dipandang sebagai “bencana kemanusian,” di mana lebih dari 100 juta orang diserang (www.saudinesia.com, 6/4/2020); C-19 lebih dari dua wabah di atas.“Koq bisa” ? Mesti demikiankah ? itupertanyaanya. Jawaban gamangnya, seharusnya, tidak ! Karena kemajuan di bidang sains dan kesehatan di zaman ini jauh melampaui serangan wabah-wabah itu di masa 100, 200 tahun lalu. Seharusnya manusia postmodern ini dengan mudah mengatasinya dan melawannya. Tapi realita itu belum terpenuhi sekarang, sehingga situasi genting dan tegang akibat covid-19 saat ini membuat manusia mengerahkan seluruh kemampuanya untuk zmelawan, untuk menyatakan “perang terhadap C-19”.
Homo Sapiens Dan Dosa Kolektif.

Untuk memerangi corono visrus ini, tidak bisa dilakukan secara segera dan serentak. Karena
menurut isu media sosial, vaksin paten belum tersedia. Ini alasan utama. Alasan sekundernya adalah ketidakpatuhan manusia dalam mengindahkan larangan-larangan yang telah diberlakukan atau tidak taat pada aturan protokoler. Ambil contoh di Italia; dan lain-lain.
Bertolak dari alasan utama dan sekunder di atas maka ditegaskan dan ditegakkan kembali aturan protokoler. Aturanya, Stay at home, Social distancing (physical distancing), Keep clean (cuci tangan) dan penggunaan masker dan peralatan kesehatan lainnya. Akibat lanjutnya dari aturan
itu dan sebagai upaya memutus penyebaran C-19, maka ada kewajiban untuk hindari kerumunan orang, Work from home, Doing School From Home/ Online, Living Healthy; dengan konsumsi makanan sehat dan bervitamin, berjemur di matahari untuk meningkatkan imun tubuh, dan doing creative economical from home. Saran paling terakhir/ last but not least adalah keep praying (tetaplah berdoa). Berdoa/ “keep praying” tidak sebatas pada saran tetapi menjadi kekuatan terakhir (yang sebenarnya pertama dan utama) karena lain tidak, manusia adalah makhluk rohani (dan juga jasmani). Dengan saran terakhir ini, mau mengklarifikasi situasi dan keadaan manusia, tidak
sebagai “Homo Deus” (manusia yang mau jadi Tuhan, berkuasa seperti Tuhan), tetapi memmbangkitkan kesadaran dan mengakui bahwa manusia adalah “Homo Sapiens”.

Manusia bijak, yang sadar dan mengakui dengan segenap akal budi, dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan bahwa Tuhan adalah pemilik kehidupan dan segala sesuatu yang ada di bumi ini. Dia berkuasa mengadakan dan melenyapkannya, termasuk melenyapkan C-19. Karena “homo sapiens” manusia menyadari “ada”-nya sebagai makhluk rohani yang mewarisi “imago Dei” dalam dirinya. Yang di beri kuasa oleh Allah atas segala ciptaan lain. Ia sadar bahwa ia dijadikan, oleh jari tangan Allah sendiri. Dari “ada” menjadi “ada yang lain” - dari debu tanah menjadi manusia- (bdk. Genesis 2:7), Karenanya kuasanya terbatas sebatas yang dikaruniakan oleh Allah. Dia harus dipandang sebagai rekan sekerja Allah. Ia Harus bekerja bersama Allah. Karena manusia sebagai “homo sapiens”, terbersitlah pendapat yang secara hati-hati  diungkapakan melalui media sosial bahwa, “manusia telah menggunakan kekuasaan yang dianugerahkan Tuhan “kelewat batas”. Manusia “kebablasan” dalam berkuasa. Kebablasan demikian, melahirkan pertanyaan, “Siapakah yang telah merancang virus ini dan berkuasa  mematikan manusia lain lewat virus ini, sehingga ingin mewujudkan niat jadi “homo Deus ?”.

Pertanyaan lain, mungkinkah perilaku kebablasan berkuasa ini, dipandang sebagai “dosa
kolektif” manusia terhadap bumi sebagai rumah kita bersama. Mungkinkah dosa-dosa kolektif ituadalah peyebab panas bumi naik, lapisan ozon menipis sebagai efek rumah kaca. Ada pelakupenebangan liar yang emosional, Pengolah tambang serakah dan berbagai perilaku tidak bertanggung jawab lainnya yang turut menyumbangkan kerusakan alam dan bumi kita, sehinggaalam, tempat huni manusia ini tidak berdaya menghalau segala wabah secara alami. Dosa-dosa kolektif itu, mungkinkah telahmenyebabkan alam tidak imun terhadap wabah sehingga sasaran serangan beralih kepada manusia penghuninya. Alam tidak mampu lagi memberikan imun tubuh kepada manusia sehingga paru-parunya menjadi tidak sehat karena menghirup udara yang telah tercemar oleh asap pabrik, knalpot kendaraan dan lain-lain. Karena kebablasan dalam berkuasa, sumber air di danau, sungai, laut tercemar dan tidak sehat untuk dahaga manusia. Hutan sebagai paru-paru bumi terbakar hangus bersama biota yang lain yang dikandungnya menyebabkan penguapan berkurang, maka akibat lanjutnya adalah hujan
sebagai pembersih alami bumi ini bekerja tidak maksimal.

Atas perilaku kebablasan terhadap bumi sebagai rumah kita bersama ini, apakah perlu
“pertobatan ekologis ?” Kapan harus dimulai dan bagaimana memulainya? Inilah pertanyaan
reflektif yang butuh jalan keluar secepatnya oleh masing-masing kita yang menghuni bumi ini.
Kebangkitan Lahir Dari Home.
Pandemi C-19, membatasi semua aktivitas sosial dan aktivitas religius di luar rumah.
Sontak para pemimpin agama dan gereja meresponsnya dengan mengeluarkan himbauan bagi umat-jemaatnya untuk melakukan aktivitas liturgis di rumah saja. Khusus bagi umat Kristiani di seantero jagat, pandemi C-19 yang diikuti dengan aksi lockdown, bertepatan dengan hari raya Paskah, kenangan akan kematian dan kebangkitan Yesus, Isa Almase, dan untuk memutus rantai penyebaran C-19, segala aktivitas religius berkaitan dengan hari raya Paskah dirumahkan. Melalui live streaming kegiatan peribadatan terjadi di rumah. Tidak ada kumpul-kumpul bersama di rumah-rumah ibadah. Tidak ada kesibukan di seputar altar Tuhan. Di tempat-tempat ibadah hanya ada bangku-kursi tanpa umat/jemaat. Keadaan sangat lengang. Aktivitas religius beralih locus; dari gereja/tempat ibadah ke rumah.

Rumah keluarga saat ini dan sekarang telah menjadi pusat aktivitas religius. Di rumah
tangga-rumah tangga ibadah Paskah berlangsung secara daring. Dengan perayaan Paskah di rumah tangga-rumah tangga, seluruh anggota keluarga yang beribadah telah menunjukkan jati dirinya sebagai “Eclesia Domesica,” (Gereja rumah tangga). Dalam Ecclesia domestica ini sepanjang pandemi C-19, telah terlaksana perayaan kebangkitan Tuhan walau secara daring saja.
Hikma yang dipetik dari perayaan Paskah di ecclesia domestica adalah semangat Tuhan yang bangkit telah merasuki seluruh anggota keluarga untuk menjadi saksi kebangkitan, menjadi utusan. Alasan Tuhan telah bangkit di rumah tangga-rumah tangga masing-masing, setelah seluruh anggota keluarga mengalami rumah sebagai “home”. Sebagai “home”, rumah tidak hanya sebatas tempat tinggal atau rumah singgah tetapi rumah sudah dirasakan sebagai sumber kasih, ruang solidaritas; berbagi dan saling memperhatikan.

Rumah dialami sebagai awal dan akhir semua aktivitas manusia di luar rumah. Di home itu, manusia kembali untuk me-recharg- daya “baterey kehidupan” yang melemah karena full aktivitas di luar rumah. Di home itulah, penghuni rumah merefresh diri, setelah menyesakan diri tidak
hanya dengan hal positif tetapi juga beragam hal negatif di luar rumah. Di home itulah, para
anggota keluarga berkesemptan memilah-milah segala bentuk aktivitas di luar rumah, melalui
refleksi. Di home itu, mereka mendapat “saat teduh”. Keep Praying terjadi di sini, di home ini. Di sana, ada ruang untuk bangun “keheningan (meditasi), merefleksikan peran Tuhan dalam hidup dan kehidupan kita. Di home itulah Paskah dirayakan dengan inti warta, “Tuhan telah bangkit dan berjumpa dengan masing-masing anggota keluarga dan mewajibkan setiap anggota keluarga menjadi utusan.
Apa dasar dari dan isi utusan itu, pertama, Percaya, bahwa Tuhan telah bangkit membebaskanmu dari dosa dan membawakan selamat bagi dunia dan semua umat yang percaya.

Kedua, Teguh Iman, jangan ragu lagi; Tuhan yang bangkit itu adalah Tuhan dan Kristus. Dasar hidupmu ada di sana, pada persitiwa kebangkitan itu. Ketiga, Diutus, untuk bangun bonum commune (kebaikan bersama) berlandaskan kasih. Karena itu keluarga siap menunjukkan perilaku terpuji, bijaksana, mempunyai sikap ramah dan bukan marah, pembawa damai dan bukan pendemo, suka doa dan bukan doi (hamba uang). Jadilah kepala keluarga yang baik, Ibu rumah tangga yang bijak dan anak-anak yang berhati muliah. Keluargamu, hendaanya memiliki “nama baik” (bdk. 1 Tim 3:3) dan menjadi teladan.

Kaitannya dengan covid-19, panggilan dan utusan dari Tuhan yang bangkit, layaknya
dimulai dari dalam rumah tangga dengan menjadi contoh dalam mentatati seluruh aturan protokoler di masa dan situasi pandemic covid-19 ini. Stay at home (ke luar sejauh perlu), sosial distancing,cuci tangan (tubuh), gunakan masker, hindari kerumunan atau kumpul-kumpul serta tetap berdoa.

Rangkaian acara protokoler ini sangat membantu memutus mata rantai penyebaran covid-19. Jika taat maka kita segera bebas dari C-19 dan semua harapan kita berjalan normal lagi. Mari berusaha sembari tetap meminta kepada Tuhan yang bangkit menolong kita membsmi covid-19 ini. ***

Iklan

Iklan