Keadilan Iklim: CIRMA Beberkan 8 Tantangan Berat Petani Kecil di Timor Barat, Media Diminta Lebih Berani Suarakan Krisis Iklim



CIRMA ungkap delapan tantangan petani kecil di Timor Barat dalam menghadapi perubahan iklim. Krisis air, minim alsintan, serta informasi iklim yang terlambat menjadi masalah serius. Media dan pemerintah daerah didorong memperkuat advokasi keadilan iklim dan ketahanan pangan di NTT.

Kupang, NTT — Yayasan CIRMA menegaskan bahwa isu keadilan iklim harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan media di Nusa Tenggara Timur, sebab petani kecil merupakan kelompok yang paling terdampak akibat perubahan iklim, meski kontribusinya terhadap emisi sangat kecil.

Direktur CIRMA, John Ladjar, menyampaikan bahwa keadilan iklim berbicara tentang ketimpangan dampak dan tanggung jawab.

“Mereka yang paling sedikit merusak lingkungan justru yang paling menderita. Mereka yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan iklim harus ikut menolong yang terdampak, termasuk petani kecil di Timor Barat,” ujarnya.

Saat ini CIRMA mendampingi petani di 30 desa di Timor Barat dalam upaya memperkuat adaptasi perubahan iklim.

Delapan Tantangan Utama Petani Kecil di Timor Barat

Pendampingan sejak Januari 2025 mengungkap delapan persoalan klasik yang menghambat petani keluar dari lingkaran kemiskinan agraris:

1. Krisis Air, 25 dari 30 desa tanpa sumber air pertanian yang permanen.

2. Minim Alsintan, bantuan tidak tepat sasaran dan tidak terkelola

3. Lahan Sempit dan Terpencar

4. Ketergantungan Pupuk Kimia, tanah jangka panjang semakin rusak

5. Bibit Terlambat & Tidak Merata

6. Minim Informasi Iklim dan Teknologi Tepat Guna

7. Kelompok Tani Tidak Berfungsi Optimal

8. Pendampingan Tidak Berkelanjutan

Untuk menjawab tantangan tersebut, CIRMA menerapkan pendekatan Triple-A: Attitude (perubahan mentalitas), Access (akses teknologi & modal), dan Asset (penguatan aset produktif).

Media Diminta Berani Menggugah Kesadaran Publik

Senior Advisor Yayasan CIRMA, Mans Bria, menekankan peran media sangat strategis dalam mendorong perubahan kebijakan adaptasi iklim.

 “Badai Seroja sudah memukul kita. Itu bukan peristiwa biasa, itu peringatan keras perubahan iklim,” tegas Mans.

Menurutnya, media perlu mengaitkan isu iklim dengan realitas hidup masyarakat: gagal tanam karena hujan terlambat, pendapatan menurun, akses pangan terganggu.

Informasi BMKG juga harus diterjemahkan agar lebih mudah dipahami petani yang akses digitalnya terbatas.

Koordinator Program CIRMA, Bonaventura Taco, menjelaskan bahwa advokasi kebijakan publik harus memastikan kelompok paling rentan, tertinggal, termasuk penyandang disabilitas.

Salah satu aksi advokasi yaitu menguji aksesibilitas kantor pemerintah menggunakan kursi roda untuk menunjukkan langsung hambatan layanan publik.

 “Pendekatan kami adalah berbasis data, persuasif, tapi tegas pada isu,” ungkapnya.

CIRMA berharap isu keadilan iklim dan inklusi disabilitas semakin kuat diperjuangkan di tingkat daerah, dan media tetap menjadi kekuatan yang menekan perubahan kebijakan.

 “Harus menjadi gerakan jangka panjang, bukan proyek sesaat,” tutup Bonaventura. *go



Iklan

Iklan