Kupang, NTT — Ruang pelatihan di sebuah hotel di Kupang pada pagi yang cerah itu, tepatnya Jumat, (22/11/2025) terasa hangat oleh obrolan para jurnalis dan pegiat masyarakat sipil Direktur Yayasan Cirma John dan pengurus lainnya. Mereka berkumpul bukan hanya untuk belajar, melainkan untuk memikul tanggung jawab baru: menjadi penyambung suara petani yang setiap hari berhadapan dengan perubahan iklim.
Ketika Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi NTT, Benyamin Nahak, MT., berdiri di depan ruangan, suasana langsung tertuju pada sosok pejabat yang ternyata akrab dengan dunia petani.
“NTT ini ekstrem,” katanya membuka percakapan. “Kalau kekurangan air, bermasalah. Kalau kelebihan air, juga bermasalah. Di tengah keterbatasan itu, petani selalu menjadi pihak yang paling terdampak.”
Antara Air, Lahan, dan Asakan Iklim
Beny tidak berbicara dari tumpukan data saja. Ia mengaku menghabiskan banyak masa kerja di wilayah sungai, memahami dari dekat nadi kehidupan petani: air. Sungai-sungai di Flores, Timor, dan Sumba menyimpan potensi yang besar, tetapi pemanfaatannya belum sebanding dengan kebutuhan.
“Air itu ada. Tapi tidak semua bisa mengaksesnya,” ujarnya. “Di situlah keadilan dipertaruhkan.”
Bendungan telah dibangun, jaringan irigasi diperluas. Namun perjalanan air ke sawah-sawah petani masih berliku, ditambah akses jalan menuju pasar yang belum sepenuhnya memadai.
Di sela penjelasan soal infrastruktur dan irigasi, Beny menatap para jurnalis.
“Kalau ada petani yang tak mendapat keadilan dalam mengakses air, tolong suarakan. Media adalah corong masyarakat, dan kami siap mendengarkan.”
Misi Baru untuk Kawan Media
Pelatihan ini merupakan bagian dari program Yayasan Media Flores Peduli (MFP) yang bekerja sama dengan Yayasan Firma (Jerman) dan Limit Justice Levante (Amerika). Tujuannya jelas: memperkuat kapasitas jurnalis dalam mengangkat isu keadilan iklim dari perspektif petani.
Direktur MFP, Andre Goru, menekankan bahwa setiap jurnalis memiliki peran strategis.
“Teman-teman adalah orang-orang terpilih yang mampu menyampaikan persoalan paling mendasar yang dialami petani,” ucapnya penuh keyakinan.
Bagi Koordinator Program, Bonaventura, jurnalis harus melihat keadilan iklim tidak sekadar sebagai istilah. Ada kehidupan yang nyata di baliknya.
Ia mengingatkan, “Perubahan iklim bukan hanya soal cuaca yang makin panas. Tapi soal apakah petani bisa bertahan hidup dan tetap menanam besok.”
Ketika Pena Menjadi Alat Perjuangan
Setelah sambutan dan percakapan hangat, Beny kembali berdiri. Ia mengusap mikrofon sebelum mengucapkan kalimat yang menandai dimulainya sebuah perjalanan baru.
“Dengan memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Launching Program dan Pelatihan Jurnalis untuk Keadilan Iklim secara resmi saya nyatakan dibuka.”
Tepuk tangan menggema
Di antara tepuk tangan itu, semangat baru ikut bergema: bahwa berita yang ditulis jurnalis tidak hanya berhenti di halaman media tetapi bisa menjadi jalan air mengalir ke lahan kering, menjadi kebijakan yang berpihak, dan menjadi harapan baru bagi para petani yang terus bertahan di tengah iklim yang berubah. *go
