Sumba Barat — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas praktik reklamasi ilegal di muara Sungai Rua, Desa Rua, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat.
WALHI menilai tindakan tersebut merupakan kejahatan lingkungan serius yang telah melanggar sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Koordinator Advokasi dan Pendamping Hukum WALHI NTT, Yulianto Behar Nggali Mara, S.H., M.H., mengungkapkan bahwa dari hasil investigasi lapangan, kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh pengusaha Liang Bun Tjien alias Aciu telah menyebabkan kerusakan ekologis yang nyata dan memenuhi unsur tindak pidana lingkungan.
“Reklamasi ilegal ini adalah bentuk nyata perampasan ruang hidup masyarakat dan kriminalitas terhadap lingkungan. Kami mendesak aparat penegak hukum untuk segera memproses pelaku secara hukum, menyita lahan yang direklamasi, dan melakukan pemulihan ekosistem secara menyeluruh,” tegas Yulianto di Kupang, Jumat (17/10/2025).
Langgar Sejumlah Pasal Pidana Lingkungan
WALHI NTT mencatat setidaknya empat pasal dalam UU 32/2009 yang dilanggar, yakni:
1. Pasal 98 ayat (1) dan (3): Perusakan lingkungan secara sengaja dengan ancaman pidana 3–10 tahun dan denda Rp3–10 miliar.
2. Pasal 109: Kegiatan tanpa izin lingkungan, ancaman pidana 1 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
3. Pasal 36 ayat (1): Kewajiban memiliki Amdal atau UKL-UPL untuk kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.
4. Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b): Larangan mencemari dan merusak lingkungan serta mengubah aliran sungai tanpa izin.
Dampak Serius bagi Ekosistem dan Warga
Reklamasi di muara Sungai Rua, menurut WALHI, telah mengubah pola aliran alami sungai, meningkatkan risiko banjir, menyebabkan hilangnya habitat biota air dan pesisir, serta mencemari air akibat sedimentasi dan material bangunan.
Kerusakan tersebut berdampak langsung pada mata pencaharian masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada ekosistem sungai dan muara.
Desakan Penegakan Hukum
WALHI NTT menilai kasus ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan administratif, melainkan harus melalui proses hukum pidana agar memberikan efek jera.
“Negara tidak boleh tunduk pada kekuatan modal yang merusak lingkungan. Penegakan hukum harus menjadi preseden bahwa lingkungan hidup bukan milik pribadi dan tidak bisa dirusak atas nama investasi,” ujar Yulianto.
WALHI NTT mendesak:
- Kapolres Sumba Barat segera menyelidiki dan menetapkan status hukum pelaku.
- Kejaksaan Negeri Waikabubak menindaklanjuti kasus ini hingga ke pengadilan.
Ancaman Kejahatan Lingkungan di NTT
WALHI juga mengingatkan bahwa kasus seperti ini bukan yang pertama di Nusa Tenggara Timur. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan reklamasi dan eksploitasi sumber daya alam kerap berujung pada kerusakan ekologis dan konflik ruang hidup masyarakat pesisir. *(go)