Ini Tanah Kami, Bukan Bahu Jalan!" – Feri Antonius Natun Ledek Arogansi Lurah Nefonaek Usir Penjual Salome


Kupang – Konflik antara aparat kelurahan, Pol PP Kota Kupang dan pedagang kecil kembali mencuat ke publik. Kali ini, datang dari Kelurahan Nefonaek, Kota Kupang, di mana seorang pemilik lahan bernama Feri Antonius Natun angkat bicara keras atas tindakan Lurah Nefonaek yang diduga sewenang-wenang menghentikan aktivitas usaha penjual salome di atas tanah milik keluarganya.

Usaha siomay milik warga, yang dikenal luas oleh warga sekitar sebagai Bakso Lombok atau Salome, menjadi korban kebijakan yang dinilai “semau lurah”.

Dalam pernyataannya, Feri Antonius Natun pada Selasa, (17/6) menjelaskan bahwa tanah tempat penjual siomay itu berdiri adalah tanah sah milik keluarga Timotius Natun yang sejak lama telah membayar pajak tahunan sebesar Rp2,4 juta, dan disewakan secara sah kepada penjual siomay sejak tahun 2001.

 “Kami sudah bayar pajak, kami sewakan resmi. Tanah ini bukan bahu jalan. Tapi tiba-tiba lurah keluarkan surat agar usaha dihentikan, tanpa dasar hukum yang jelas. Ini bentuk kesewenang-wenangan!” tegas Feri Antonius Natun.

Masalah bermula pada 23 Mei 2025 saat Kelurahan Nefonaek melakukan kerja bakti di sekitar lapangan voli dan basket belakang kantor lurah. Lurah mendatangi penjual siomay untuk minta dukungan atas program kebersihan. Namun, kejadian tak terduga muncul ketika ibu lurah merasa tidak dihormati, lantaran mendengar suara tawa dari anak-anak yang sedang main TikTok di dekat tempat usaha.

 “Ibu Lurah merasa ditertawai, lalu pulang ke kantor dan langsung perintahkan staf buat surat penghentian usaha. Itu keputusan emosional, bukan administrasi pemerintahan,” jelasnya.

Padahal, menurut Feri Antonius Natun, tidak ada ejekan, hanya salah paham karena suasana riang anak-anak yang sedang makan salome dan bermain TikTok.

Rapat kemudian digelar di Kantor Camat Kota Lama, yang mempertemukan pihak kelurahan, pemilik tanah, dan pedagang. Namun, menurut Feri, rapat justru dibuka oleh camat dengan menyebut-nyebut soal “uang amplop A dan B” yang dinilai tidak relevan dan tidak pantas.

 “Saya malu dengar itu. Ini bukan soal uang, ini soal perlakuan tidak adil kepada rakyat kecil. Saya minta lurah jelaskan isi suratnya, dan ternyata banyak tidak sesuai fakta,” ujarnya.

Dalam rapat itu juga terungkap bahwa surat izin usaha dari kelurahan kepada Salome sudah ada sejak Februari 2024, ditandatangani oleh sekretaris kelurahan sendiri. Jadi, dalih lurah bahwa usaha itu ilegal, terbantahkan.

Kecaman juga diarahkan kepada Satpol PP Kota Kupang yang datang ke lokasi usaha tanpa komunikasi lebih dulu dengan pemilik tanah. Feri menyebut tindakan tersebut sebagai tidak sopan dan arogan.

“Kalau mereka bilang Salome tidak sopan, justru mereka yang tidak sopan. Datang tanpa koordinasi, tanpa izin ke pemilik lahan. Hukum itu jelas: aparat wajib bertindak sesuai prosedur, bukan asal datang gusur!”

Feri Antonius Natun dengan tegas menyatakan bahwa penjual siomay adalah bagian dari UMKM, yang selama ini tidak pernah meminta dana modal dari pemerintah, tapi justru berusaha mandiri untuk hidup.

 “Kalau pemerintah memusuhi UMKM, berarti Kota Kupang akan mundur 20 tahun ke belakang. Mereka berjualan dengan modal sendiri, bukan korup uang negara. Mereka bukan beban, tapi pejuang ekonomi!”

Ia juga mengingatkan bahwa fungsi jalan bukan hanya transportasi, tapi juga fungsi sosial dan ekonomi bagi warga yang menggantungkan hidup dari kegiatan kecil di pinggiran kota.

Sebagai pemilik sah lahan dan warga Kota Kupang, Feri Antonius Natun menyatakan kesiapan berdialog langsung dengan Wali Kota, Wakil Wali Kota, bahkan Ketua DPRD.

 “Saya Ferina Antonius Maut Natun, Sarjana Teknik Sipil. Saya tahu aturan jalan dan pertanahan. Kalau perlu saya dialog langsung dengan Wali Kota, Ketua DPRD, dan Gubernur sekalipun. Negara ini negara hukum. Kekuasaan jangan disalahgunakan!”

Kasus penggusuran usaha siomay yang berdiri di atas tanah milik keluarga Natun ini menjadi sorotan publik. Heri Anton Natun menegaskan bahwa pemerintah harus adil, objektif, dan patuh pada undang-undang, bukan bertindak atas dasar perasaan.

 “Kebenaran akan mencari jalannya sendiri. Kami siap taati semua aturan, tapi jangan kami diinjak-injak oleh ego dan arogansi pejabat,” tutupnya. *(go)



Iklan

Iklan