Kota Kupang, mutiara-timur.com // Yayasan Nancy Agatha atau Nancy Agatha Foundation (NAF) luncurkan buku yang merupakan hasil penelitian kerjasama dengan LPDP dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi (Kemendikbud ristek). Buku itu berjudul Ga'en Wongko Damu Dazar Penjaga Budaya dan Ketahanan Pangan Masyarakat Riung Barat Flores. Kegiatan peluncuran buku tersebut dilaksanakan pada Sabtu, (5/7/2023) di Celebes Resto, Kota Kupang.
Ketua NAF, Nancy Agatha Florida dalam sambutannya mengatakan, "literasi tentang budaya suku Damu Dazar Riung sangat minim, padahal kita tahu bahwa budaya yang kita miliki ini sangat unik dan seharusnya dicatat sebagai bekal untuk generasi yang akan datang."
Keunikan budaya ini belum banyak didokumentasikan secara baik, yang ada kebanyakan masih sebatas bersifat lisan atau tutur. Ini yang menjadi titik perhatian NAF melalui Ketua, Nancy Agatha Florida bersama Kristin Tehang merasa terpanggil untuk membukukan kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Damu Dasar dan Riung sekitarnya supaya dapat diperkenalkan dan menjadi referensi bagi khalayak.
"Tak bisa dipungkiri bahwa budaya kita sebagian besar adalah budaya tutur atau budaya lisan. Oleh karena itu kami dari yayasan NAF mencoba mencatat sedikit dari banyak budaya dan ritus-ritus adat kita dari masyarakat suku Damu. Kami juga berusaha memperkenalkan masyarakat adat Ga'en Wongko serta perannya dalam menjaga kelestarian budaya khususnya di bidang pertanian," ungkap Ketua Yayasan.
Menurut Ketua NAF pendokumentasian peran para Ga'en Wongko menjadi sebuah buku foto grafi yang juga dilengkapi dengan mini video dokumenter.
"Kami berusaha menata buku sebenarnya mungkin dengan audio visual sedemikian rupa, dengan harapannya ialah agar buku ini dapat menarik minat pembaca, khususnya pembaca muda,"ucapnya.
Buku ini menurut Ketua dicetak sebanyak 500 eksemplar dan akan dibagikannya secara gratis kepada sekolah-sekolah, perpustakaan dan taman bacaan di beberapa kota di Kabupaten/Kota di NTT.
"Yayasan NAF menyadari, bahwa menjaga kelestarian budaya adalah tugas kita semua. Oleh karena itu kami berharap bahwa dengan terbitnya buku ini dapat merangsang lahirnya buku-buku baru, pemerhati budayawan baru yang mencintai kebudayaan," pintanya penuh harap.
"Buku ini dapat diterbitkan berkat dukungan dari para pihak, yakni lembaga donor dan masyarakat suku Damu sebagai daerah sasaran penelitian dan penulisan tersebut. Karena itu pantas ucapan terimakasih banyak kami sampaikan, semoga berkenan di hati," ujarnya lagi.
Sementara itu ketua Ikatan Keluarga Ngada Kupang (IKADA), yang diwakili oleh Ambrosius memberikan apresiasi kepada Nancy Florida bersama Christine Tehang selaku penulis muda tentang budaya Riung tersebut.
"Mewakili pengurus dari ikatan keluarga Ngada yang ada di Kota Kupang kami memberi apresiasi terhadap kedua anak muda yang bisa mendokumentasikan budaya adat masyarakat Riung dalam bentuk karya buku ini," ungkapnya.
"Dalam dunia sekarang banyak orang bisa berbicara bisa bertutur tetapi tidak selamanya mampu menulis dengan baik. Kami secara pribadi merasa bangga akan semangat yang dilakukan oleh kedua penulis muda ini, terutama mengangkat hal-hal berkaitan dengan budaya masyarakat setempat yang kalau dilihat dalam dunia sekarang ini tulisan ini sangat bermanfaat, khususnya bagi generasi lapisan kedua ketika dengan situasi dan perkembangan zaman kalau ini tidak didokumentasikan secara baik maka kemudian bisa hilang. Namun dengan didokumentasikan tulisan ini sangat membantu bagi mereka untuk bisa mengingat dan dapat melestarikan kembali nilai-nilai budaya yang merupakan potensi dan warisan kekayaan bagi kita," ujar Ambros.
Acara bedah buku dan dialog budaya yang diselenggarakan oleh Yayasan NAF ini juga menampilkan Sosok Antropolog, P.George Neonbasu, SVD, PhD, selaku Nara sumber untuk memaparkan dan menilai tentang tulisan tersebut dari sudut pandang antropologi.
"Buku yang ditulis dengan judul Ga'en Wongko Damu Dazar Penjaga Ketahanan Pangan merupakan sebuah buku yang berbicara tentang eksistensi manusia itu sendiri. Bukan soal pangannya tapi lebih menekankan keberadaan manusia dari dahulukala yang membudaya dengan pola laku mempertahan kehidupannya. Itulah kita berbicara tentang manusia dari perspektif antropologis," ungkapnya.
George Neonbasu, sang antropolog ini juga membedah dengan memaparkan sketsa dan skema dari tulisan buku karya maestro tersebut.
Selain itu juga dipaparkannya bagaimana melakukan kajian tentang Riung yang dilihat dari aspek topogeny menyangkut nama yakni tempat, suku dan orang. Aspek Oikogeny meliputi lingkungan hidup, alam, kosmos, ekologi. Aspek Genealogy soal usul-asal dari leluhur. Aspek Tradisi Lisan meliputi kisah, cerita, folklore, folktale, folklife, mitologi, sapaan2 bermakna, berbagai wacana sifatnya jinak dan liar.
Disampingi itu George Neonbasu melihat tentang Riung masa kini dalam spektrum tradisi lisan yang secara umum, tradisi lisan mempunyai sepuluh fungsi, yaitu melukis peristiwa masa silam, mengidentifikasi inti suku, keluarga, pribadi, mengkaji hubungan antar suku (jejaring), menggambarkan pembagian tugas, mengungkap isi dan makna setiap struktur politik, menjelaskan hubungan sosial di antara kawan dan lawan, melukis ekologi dengan menempatkan manusia sebagai pusat, sebagai jembatan emas untuk mengungkap alam pikiran manusia dengan segala aspek kehidupannya setiap hari, sebagai sumber untuk mengkaji filsafat orang asli, dan berisi religiositas orang asli.
Dikatakan pula buku ini juga telah menggambarkan Riung dengan sudut pandang ethnografi menyangkut, kawasan dari beberapa wilayah pemerintahan dahulu dan sekarang (asli dan kini), kisah dan cerita: perlu ilmu dan pola hermeneutiko, dalam arti tafsir yang benar, kriteria tulisan harus memperlihatkan literer, kontekstual, metaforis, penutur, pragmatis, filosofis, teologis dan lain-lain. Dilanjutkanya lagi disinilah ada titik temu yang dapat terlihat selalu ada yang sama dalam perspektif yang berbeda, karena factor bahasa atau lingkungan yang berdampak pada adanya evolusi budaya.
P. George Neonbasu, SVD juga mengupas prinsip antroplog dalam sebuah kajian budaya, yaitu: Pertama, Home Principle yang menekankan soal akar budaya, kekayaan tradisi, dasar pijak dan warisan kultur masyarakat desa.
Kedua, Pilgrim Principle menyangkut globalisasi; modern, post- modernismus, post strukturalismus, dan post truth society.
Diakhir kajiannya beliau mengatakan, "tidak ada Budaya yang mengambang, karena bicara budaya atau kebudayaan selalu ada akarnya, dan di mana anda berada, di sanalah pusat dan akar kehidupan manusia (mengutip antropolog Frans Boas)." *(go).