SIAPA PEREMPUAN DI JALAN SALIB YESUS? (Refleksi Jelang Hari Raya Jumat Agung. Wafatnya Yesus Kristus)

                       Oleh: Vinsens Al Hayon

KISAHKU dicatat sebelum dan setelah tahun 33 Masehi. Tiga kitab "Euangelion" menulis tentang aku dengan senoktah beda. Tetapi tradisi lisan suci menggambarkan secara utuh tentang diriku. Banyak yang mengira aku Maria dari Magdala, si musisi kecapi kondang pada zaman kami. Ia amat cantik di antara puteri-puteri Yerusalem. Kemahirannya berkecapi membawanya ke istana untuk menghibur, para politisi, birokat, gubernur pegawai istana, dan tetamu undangan lainnya. Lewat berkecapi ia berdakwa. Dikidungkan "mazmur-mazmur kehidupan" karya Daud si pujangga Isreal dan membuat para hadirin terpukau dan ia disanjung-sanjung. Ketika ia diketahui pengikut Tokoh dari Nasaret itu, ia tidak diundang lagi. Tetapi aku bukanlah dia.

Kadang aku disamakan dengan Veronica di Via Dolorosa (jalan sengsara), tapi itu sesungguhnya Serafiah, saudara sepupu Yohanes Pembabtis. Ayah Serafiah dan ayah Yohanes, Zakhariah adalah kakak beradik. Dikemudian hari Serafiah dikenal sebagai Veronica yang diambil dari kata "veral icon" (gambar asli). Jadi bukan nama pribadi. Itu adalah ungkapan sejati atas nama: "Gambar yang sebenarnya," (vere, verum, vero benar dan nika dari kata icon gambar). Itu "Gambar wajah sesungguhnya."

Di via dolorosa, Serafiah ikut juga menyaksikan jalan derita Yesus. Ia membawa serta kerudung dan anggur sedap untuk diberikan pada Yesus Menerobos kerumunan dan ketatnya 300 anggota pasukan berkuda yang mengawal perjalanan Yesus dan kedua penyamun ke Kalvari, ia menyodorkan kerudung dan sebuli kecil anggur sedap Yesus hanya menerima uluran kerudung dan menyeka wajahnya yang berlepotan darah dan keringat dengan tangan kiriNya sendiri, lalu mengembalikannya. Sedangkan sebuli anggur sedap dirampas oleh algojo. Setelah di rumah Serafiah melebarkan kerudung dan melihat wajah Yesus tergambar pada kerudung itu.

Aku bukan dia. Aku adalah salah satu pribadi yang lain. Sebelum jalan derita ke Kalvari, aku berjumpa lagi dengan Dia di tempat kejadian penyembuhan hamba seorang perwira. Orang-orang yang hadir memperhatikan aku dengan tatapan sirik. Mereka mencibirkan bibir dan mengusir aku pergi dengan menaikan alis dan gerakan mata. Mereka tidak suka aku mendekati Dia karena mereka kenal: "Siapa aku?" Tidak usah pedulikan itu. Posisikan saja diriku seperti Simon si kusta yang butuh kesembuhan. Walau ada aneka duga tentang aku demikian, aku tetaplah aku, yang juga benama Maria. Aku yang telah membuntuti langkah "Pembuat kisah kesembuhan hamba seorang perwira" sejak di tempat kejadian perkara (TKP).

Irama langkahNya dan gerakan tubuhNya telah menarik aku sampai ke rumah Simon si kusta, yang menjamu Dia. Para pelayan cantik menunjuk-nunjuk kepadaNya sambil berbisik satu sama lain dengan tersipu-sipu. Sesaat lamanya aku tertegun, kemudian coba melambaikan tangan menyalamiNya, namun la tidak memalingkan mukaNya atau mengekor mata sekejap saja kepadaku Aku jadi cemburu.

Aku seperti ditinggalkan kekasih hati dan tenggelam dalam kesendirianku. Aku seperti terhempas di atas gundukan salju, dan gemetar hebat tubuhku. Kertak gigiku kedengaran dalam kata-kata "Apakah layak aku menyapahNya." Dalam keadaanku, lambaian tangan seorang pelayan Yunani yang berparas cantik memberi isyarat untuku agar maju mendekat.

Kuberanikan diri maju lebih dekat padaNya. Kupandang Dia dan hatiku gemetar karena kegagahanNya. Tubuhnya begitu padu dan tampilan busanaNya meluluhkan dandananku dalam Pakaian Damaskus, pakaian pemberian seorang kapten Roma. Sambaran cahaya mataNya mebuat aku jatuh rebah memeluk kakinya dan menangis sesunggukkan seraya menuangkan minyak narwastu di buli mini yang kubawa, ke kaki dan seluruh tubuhnya.

Aku terisak sedih, bukan karena syahdu gembira tetapi karena salah besar hidup-lakuku sambil dengan mayang ramabutku kukeringkan tumpahan minyak pada kakiNya. "Tuan Muda, mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa," rintihku dalam penyesalan dan tobat. Ia mendengarnya sambil menepuk-nepuk bahuku dan membangunkan aku berdiri. Ia menatapku sekilas dan berucap "Selamat Maria." Kuarahkan pandang sekejap ke semua yang hadir. Ada seseorang yang menatapku nanar seperti menyesalkan tumpahan wewangian ke tubuhNya, mengeluh: "Untuk apa pemborasan ini? Tidakah dijual dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin."  Lalu Dia balas menjawab: "Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Ia telah melakukan perbuatan baik bagiku."

Lanjut, Ia menatapku, dan mataNya bagaikan bulan purnama, lain sekali dari mata manusia biasa. Dan seketika aku merasa ditelanjangkan, aku malu sekali. Masa laluku seperti diumbar-umbar. "Bintang-bintang malamku" yang gemerlap memudar, redup-redup dan padam. Aku menemukan diriku lagi.

Dahulu, aku adalah pemilik semua mereka yang berjanji mencintai aku, tetapi tak seorangpun kumiliki. Dan ketika tatapan penuh cintaNya menyinari seluruh diriku, aku yang digelari wanita dengan tujuh roh jahat, dikutuk dan berubah serentak.  Jadilah aku Maria sebenarnya, seorang wanita yang telah melepaskan dunianya yang dulu dan menemukan kehadiranNya di tempat yang baru. Predikat lamaku terabaikan dan hidupku mulai bercahaya surga.

Dia melihat suatu keindahan pada diriku yang tak kunjung pudar dan saat hari-hari musim gugurku tiba, keindahan itu tetap segar kelihatan dan tak bercela. Ketika tatapanNya berubah bagai fajar menghujam diriku, hidup baru meresapi tubuhku dan mengaliri di sekujur nadiku la berucap: "Datanglah kepadaKu yang letih lesu dan berbeban berat. Aku memberikan kelegaan kepadamu. Belajarlah padaKu karena Aku lembah lembut dan rendah hati," (bdk Mat 11 28-29)

"Ingat Maria", sambungNya: "Aku mengasihi engkau demi dirimu sendiri dan mencintai apa yang tidak kelihatan dalam dirimu. Selamat menempuh hidup baru. Aku tersanjung sekali Aku juga merasa mataNya laksana surya yang terbenam telah memancung "ular naga" dalam diriku, dan aku menjadi seorang wanita sempurna, menjadi Maria dari Magdala, Maria Magdalena yang sesungguhnya.

Maria Magdalena dengan kisah berkisar antara kenikmatan dan nestapa, kesalehan dan dosa, kemenangan dan kalah, durhaka dan bahagia, serakah dan dermawan, setia dan seleweng. Kemegahan dan kehinaan, belenggu dan kemerdekaan. Satu bagian diri yang tetap terawat daya Ilahi adalah bagian spiritual yang melekat satu dengan kejasmanianku, yang teramat lama tidak kusadari.

Ini lah bukti Misericordia Domini (Belas kasih Tuhan). Melalui diri dan keberadaanku, la melegitimasi pesan sabdaNya: "Aku datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani dan mencari yang hilang. Menyembuhkan yang sakit dan membawakan hidup baru. Aku memerdekakan kamu. Kini aku jadi ciptaan baru dan hal inilah yang paling berarti dalam hidup. (bdk. Gal. 6:15). Mungkinkah bagi kita, para pengikutNya? ***



Iklan

Iklan