Dari Luar Negeri Putera Indenesia Curhat Anomali Bangsa Indonesia

Padre Marco, SVD

ADALAH Padre Marco, SVD Putera Indonesia yang mengabdikan diri sebagai pelayan umat manusia dan kini bekerja di Vatikan Roma sebagai Staf Dewan Kepausan untuk Dialog dan Perdamaian lintas Agama karena cinta akan NKRI sebagai anak bangsa mencurahkan keprihatinannya terhadap kondisi negeri kita yang terjadi belekangan ini.

Dengan judul tulisan, Anomali Bangsaku Dalam Tiga Hal (Curhat Dari Luar Negeri.

Tulisan ini sungguh mengetuk hati, menggugat nurani kepada setiap kita putera puteri bangsa Republik Indonesia agar selalu saling menjaga persaudaraan, persahabatan dan kekeluargaan kita sebagai bangsa yang besar, pluralis,  berbhineka dengan berfalsafah pada Pancasila yang begitu diakui berbagai negara dibelahan dunia. 

Dalam kebhinekaan kita kuat dan bersatu pada kepakan sayap dan genggaman cakar burung Garuda sebagai panji ratna mutu manikam satu Nusantara. 

Anomali Bangsaku Dalam Tiga Hal mengajak kita tetap utuh sebagai NKRI, Itu yang dapat kita refleksikan dari tulisan Padre Marco  yang diterima media ini Rabu (13/4) pukul 22.12 WITA sebagai berikut:

Anomali Bangsaku Dalam Tiga Hal             (Curhat pribadi dari luar negri)

Dari jauh saya sering memantau bangsaku Indonesia melalui berbagai pemberitaan media, baik media-media mainstream maupun berbagai jalur medsos. Selain mengikuti berita-berita terbaru, saya juga memperhatikan perilaku, cara berkomunikasi, cara pikir dan cara tutur warga bangsa tempat saya berasal. 

Belakangan ini perilaku sebagian warga bangsa membuat saya merasa kaget, cemas, sedih dan bahkan bertanya dalam diam tanpa menemukan jawaban. 

Barat tempat saya hidup dan yang sering dicap tidak ber-Tuhan, individualis, egois dan materialis malah hampir tidak pernah saya temukan sikap dan perilaku mencemaskan dan menakutkan dalam skala seperti yang saya temukan pada bangsaku Indonesia saat ini. Kalau ada dan terjadi di Barat, umumnya hanya berskala kecil, punya alasan-alasan masuk akal dan pada titik tertentu bisa dipahami oleh karena konteks budaya, sosial dan politik tertentu. 

Intinya Barat sangat menghargai dan menghormati nyawa dan kehidupan manusia. Binatang piaraan saja kalau hilang, seluruh Desa turun mencari sampai ditemukan kembali. 

Belakangan ini saya mencatat anomali-anomali berikut pada Bangsaku: 

Pertama: Banyak di antara sesama bangsaku merasa senang dan bahagia melihat Ukraina hancur, mayat-mayat bergelimpangan di jalan dan di bawah puing-puing. Mereka puas melihat korban sipil meratap sedih, diperkosa, dianiaya, berlari meninggalkan rumah dan tanah air. Padahal mereka adalah korban yang diserang dan diduduki negerinya secara ilegal. Kalau kita mengamini pernyataan kuat di dalam UUD’45 bahwa kita menolak penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, tentu kita dinilai tidak konsisten kalau mendukung penjajahan di negara lain. Kita semua sama-sama manusia. Kita semua sama-sama membutuhkan keadilan. 

Mereka yang “bersorak-sorai” juga pada saat yang sama memuja-muji Putin dan Rusia dan menginginkan lebih banyak kerusakan di Ukraina. Mereka lebih simpati terhadap kekerasan dan kematian daripada kehidupan dan rasa kemanusiaan. Quo vadis rasa kemanusiaan bangsaku? Apa kata ajaran agama masing-masing? Apa yang membuat bangsa kita merasa mampu berjalan di atas mayat? 

Saya pribadi geleng kepala dan bingung. Saya tidak mengenal lagi karakter asli bangsa saya yang saya kenal sejak kecil sebagai bangsa pencinta dan pemaaf, lemah lembut dan berbudi pekerti luhur, bertenggangrasa dan berjiwa rukun dan damai. 

Bukankah kita yang mengaku beragama dan beriman, yang memiliki budaya kelemahlembutan dan cinta damai, dan dengan itu memiliki tingkat kepekaan rasa kemanusiaan yang tinggi, sebaliknya berdoa memohon perdamaian dan mendorong segala bentuk dialog dan negosiasi yang tengah diupayakan agar perang segera berakhir? 

Kedua: Demo BEM SI, Senin 11 April 2022. Tentu ini bagian dari asas kebebasan berekspresi di dalam demokrasi. Akan tetapi perlu dipertanyakan juga urgensitas dan substansinya. 

Hari Senin adalah hari kerja, hari sekolah, hari berproduksi. Tuntutan utama demo ternyata hanya mereferensi pada wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 periode, yang menurut Konstitusi tidak mungkin terjadi. Narasi berkembang biak. Derajad sensitivitasnya berubah karena dihubung-hubungkan dengan banyak aspek rentan lainnya. Emosi dan kebencian disulut. Di sini kemudian sulit dibedakan antara perjuangan kebenaran dan penunggangan kepentingan. 

Kalau seandainya sudah ada fakta bahwa DPR akan melakukan amandemen UUD agar bisa merealisasi wacana perpanjangan masa jabatan Presiden di atas, sebuah demo mungkin bisa diterima dengan akal sehat. Tapi ini belum apa-apa ramai-ramai turun ke jalan hanya karena sebuah wacana yang belum tentu bisa terlaksana. Sudah hilang waktu, uang dan tenaga, disusul pula kerugian moril. Mengapa? Aksi saling serang hari-hari sebelumnya di media sosial (juga setelahnya) tentu saja mengorbankan nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip moral. Banyak orang kelihatan tidak menghiraukan lagi etika komunikasi yang sehat dan sopan, tidak lagi menerapkan ajaran agama tentang kasih, kelemahlembutan, saling memaafkan, saling mengampuni, saling menghargai, dll. 

Ada berita kalau di tempat-tempat tertentu unjuk rasa kemarin bahkan berakhir rusuh.  Sudah banyak buang duit, tenaga dan waktu, ditambah lagi kerugian moril. Kapan bangsaku bisa maju dan sejahtera dari Sabang sampai Merauke kalau terjebak dan digiring berulang kali ke dalam aksi-aksi massal yang sebenarnya lebih banyak membawa kerugian seperti ini? 

Bangsa-bangsa di dunia yang damai terus menikmati kemajuan karena menciptakan ruang-ruang untuk melahirkan pemikir-pemikir besar, prestasi-prestasi mencengangkan, pekerja-pekerja ulung dan peneliti-peneliti handal agar selalu bekerja untuk sebuah perkembangan kemanusiaan yang lebih modern dan lebih sejahtera. 

Apakah bangsa.-bangsa maju itu tidak pernah mengalami masalah dengan kepemimpinan pemerintah mereka? Jelas ada. Tetapi mereka tahu dan sadar berdemokrasi. Konsekuensi pemerintahan demokratis adalah menerima kekalahan di dalam sebuah pemilihan umum, menerima kemenangan mayoritas secara fair dan mendukung pemerintah yang sah dalam periode konstitusional. 

Segala ketidakpuasan, kritik dan saran umumnya disampaikan melalui jalur-jalur konstitusional, misalnya melalui partai oposisi dan wakil-wakil rakyat. Kalau sampai terjadi demo-demo, maka itu sudah sungguh-sungguh mendesak dan memiliki alasan yang jelas, kuat dan masuk akal. Bukan sekedar issu, gossip atau narasi tanpa referensi yang ditunggang oleh pihak-pihak tertentu.   

Ketiga: Aksi pengroyokan brutal terhadap saudara Ade Armando. Hati sangat miris melihat Dosen UI Ade Armando dikeroyok secara sangat sadis di tengah lawan-lawannya. Tidak ada pembelaan berarti terhadap dirinya ketika kecekcokan mulai terjadi dan mengarah kepada kekerasan fisik. Terlihat hanya seorang lelaki yang mencoba melindungi Armando setelah beliau mendapat pukulan pertama dari arah belakang. 

Tetapi apa artinya seorang pembela saja berhadapan dengan massa yang begitu marah dan emosinya meluap-luap? Untung regu keamanan muncul dan menyelamatkan Armando yang tergeletak di jalan, sudah hampir tidak sadarkan diri dan sudah babak belur. Pakaiannya pun dilucuti dari tubuhnya, tanda pelucutan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Apa yang bisa terjadi dengan nyawanya kalau regu penyelamat telat sedikit saja? 

Melihat ini saya tunduk sedih. Bangsaku sekarang sudah sangat jauh berubah. Jadi tukang marah, tukang benci, tukang emosi, tukang keroyok. Lebih miris lagi: Di kolom komentar Youtube yang menayangkan pengroyokan Ade Armando, banyak yang mengatakan mereka legah dan merasa damai, berterima kasih dan bersyukur kalau Ade Armando harus diperlakukan seperti itu. Ada yang menginginkan kematiannya. Damai dan tenteram karena penderitaan orang lain?

Sampai di sini saya sekali lagi sangat sedih. Bagaimana mungkin orang merasa bahagia terhadap kekerasan dan rasa sakit orang lain? Bagaimana mungkin bisa tenteram melihat seorang manusia berlumuran darah dan tidak sadarkan diri ketika dibawa lari? Bagaimana mungkin iman agama dan kedengkian serta nafsu kekerasan bisa eksis bersama-sama di dalam satu pribadi? 

Kalau seandainya ada argumen-argumen yang dipakai untuk menghalalkan kekerasan, dan mudah-mudahan mereka menang di depan pengadilan, tapi di manakah rasa kemanusiaan? Di mana kah agama? 

Bangsaku sedang mengalami sebuah krisis serius. Anomali di negriku sudah pada tingkat mencemaskan. Pemerintah dan tokoh-tokoh agama dan masyarakat, berbagai institusi pendidikan dan berbagai mitra kemasyarakatan harus sadari hal ini dan harus melakukan sesuatu. Mendesak! Di samping itu, selain menanti kebijakan-kebijakan publik, mari masing-masing kita mulai berbenah diri, saat ini pula dan di sini. 

Mari berpikir jernih sebagai manusia dan orang beragama, bersikap dewasa dalam menyikapi berbagai masalah. Mari kita beragama dan beriman secara benar dengan mengedepankan cinta persatuan, kerukunan dan perdamaian, keadilan dan kebenaran, dalam suasana penuh saling respek dan saling pemahaman. Jangan biarkan agama kita dicemari oleh kepentingan apapun. Nama Tuhan kita jaga dan kita gunakan untuk hal-hal yang sakral, kudus, baik dan menyejukkan. 

Apapun kesalahan di depan mata, kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa diterima. Kekerasan adalah awal dari sebuah kehancuran yang lebih besar karena kekerasan tidak bisa menyelesaikan masalah. Malah hanya menciptakan mekanisme kekerasan baru tanpa ujung. Kekerasan dan pembalasan dendam adalah kembaran berantai tanpa akhir. Sebagai akibatnya, kerukunan, kedamaian dan kebahagiaan yang kita inginkan bersama akan semakin jauh. 

Kita dikenal dunia internasional sebagai bangsa cinta damai, bangsa pengampun, bangsa sopan santun, bangsa berhati mulia. Kesan kuat yang tinggal di benak warga bangsa asing setelah mengunjungi Indonesia adalah keramahtamahan, kesopansantunan dan senyum tulus yang menghiasi setiap perjumpaan dan kebersamaan. Dengan kata lain, Indonesia di mata mereka adalah sebuah bangsa dengan peradaban tinggi. Mereka mengagumi falsafah bangsa Pancasila. Lalu mengapa sekarang banyak yang berbalik mendukung budaya kehancuran dan kematian? 

Mengapa mendukung budaya kebencian dan balas dendam? Mengapa menginginkan kehancuran orang lain?  

Kita sama-sama tahu bahwa tidak ada agama di negri kita yang mengajarkan kebencian dan kekerasan. Di lain pihak, rasa kemanusiaan semua orang adalah satu dan sama. Lalu mengapa anomali-anomali ini bisa terjadi? 

Kelak Tuhan akan menerima kita masuk ke dalam kebahagiaan Surga, bukan karena kita melakukan kekerasan, kejahatan dan sudah merugikan orang lain, melainkan karena kita sudah melakukan kebaikan demi kebaikan dan telah membahagiakan banyak orang, tanpa pandang bulu. Mari bertobat. Mari balikkan anomali-anomali di atas. Nasib bangsa di masa depan sangat bergantung pada perubahan hari ini. **

#Salam damai sejahtera. 

   Padre Marco SVD

Iklan

Iklan