Kupang,mt.bcom – Dinilai Takut dengan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) sehingga Pimpinanan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT takut berbicara alias ‘kunci mulut’ terkait terkuaknya berbagai proyek bermasalah sekitar Rp 227,3 Milyar di Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT.
Demikian dikatakan Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi Indonesia (Araksi), Alfred Baun terkait sikap bungkam lembaga DPRD NTT terhadap berbagai kasus yang mencuat belakangan ini, baik program pembangunan bermasalah maupun temuan BPK RI dengan total nilai sekitar Rp 127,3 Milyar dalam jumpa pers di bilangan Fatululi Kota Kupang, pada Kamis, (16/07/2021).
“Araksi menilai DPRD NTT, baik Pimpinan dan Anggota DPRD NTT takut dengan Gubernur NTT. Karena itu DPRD tidak bisa mengontrol kegiatan pembangunan yang dijalankan Gubernur NTT dan jajarannya. Karena takut, DPRD hanya diam dan ‘kunci mulut’. Padahal banyak sekali proyek pembangunan bermasalah yang diangkat sejumlah media online dan juga menjadi temuan BPK RI. Sesuai rekapitulasi Araksi, sekitar Rp 127,3 M,” ungkap Alfred.
Araksi, lanjutnya, memandang DPRD NTT bak harimau yang kehilangan taringnya. “Kontrol DPRD sangat lemah. Kami melihat, terkesan Pemerintah NTT berjalan Tanpa Kontrol DPR. Di sisa masa kepemimpinan Pak Gubernur Viktor Laiskodat (yang tersisa sekitar 2 tahun, red), menjadi kekuawatiran dari Araksi jangan sampai kemudian program-program pembangunan tersebut tidak menghasilkan sesuatu bagi Daerah ini (NTT, red). Karena yang punya kewenangan kewenangan secara legal dan secara undang-undang untuk mengontrol adalah DPRD,” jelasnya.
Menurut Alfred Baun, jika DPRD tidak dapat mengontrol Pemprov NTT, maka sebaiknya pimpinan dan anggota tidak perlu masuk di ruang sidang DPR. “Karena gaji DPRD itu satu orang sekitar Rp 50 juta. Mereka digaji untuk kontrol pemerintah. Berbicara demi kepentingan publik, termasuk mengkritisi pemerintah. Bukan takut, diam dan ‘kunci mulut’!” kritiknya.
Sejauh ini, lanjut Alfred Baun, DPRD Provinsi NTT belum menyampaikan kepada masyarakat (publik NTT, red) fakta keberhasilan Pemprov NTT. “Seharusnya kalau Pemprov NTT menghindar untuk menyampaikan keberhasilan/kegagalan kerjanya, DPRD harus tampil untuk mengukur kinerja Pemda NTT,” tegasnya.
Araksi bahkan khawatir DPRD tidak memiliki satu data apapun terkait data-data program kerja Pemprov NTT dan hasilnya. “DPRD ini memilih bungkam karena takut atau karena tidak tahu? Ini yang jadi masalah kita di daerah ini. Sampai hari ini DPRD tidak pernah mengekspos keberhasilan maupun kegagalan Pemprov NTT,” ujarnya.
Ketua Araksi itu pun meminta DPRD NTT untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas program-program Gubernur Laiskodat guna menghasilkan rekomendasi hukum.
“Jadi kalau mereka menghasilkan keputusan Pansus itu dan memberikan temuan-temuan pansus, mereka bisa memberikan rekomendasi hukum. Belajar dari DPRD TTS. Mereka membentuk Pansus kemudian merekomendasikan secara hukum. Kemarin mereka merekomendasikan hasil pembahasan mereka ke Polres TTS dan ke Kejaksaan. Meskinya DPRD NTT harus seperti itu (meniru DPRD TTS, red),” beber Alfred.
Ketua Araksi itu kemudian merinci, bahwa berdasarkan temuan BPK RI Perwakilan NTT, jumlah anggaran yang dipakai untuk membiayai programnya yang gagal itu ada sebesar Rp 127,3 Milyar. Itu terdiri dari Program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) senilai Rp 25 Milyar, temuan BPK RI tentang Beras JPS Covid-19 senilai Rp 18 Milyar, Ikan Kerapu Rp 23 Milyar, APD dan BHP Covid-19 Rp 1,7 Milyar, dana desa model untuk pencegahan stunting sebesar Rp 39,9 Miliyar dan pengembangan pencegahan stunting melalui ternak senilai Rp 19 Milyar. Lalu program tanam Kelor senilai Rp 700 Juta.
“Saya heran, kenapa program inti dari Gubernur (tanam kelor, red) tidak kebagian anggaran? Kalau program ini tidak berhasil yah ... DPRD harus mengungkapkan. Jangan belok di tengah jalan. Pikir publik tidak tahu? DPRD NTT tahu angka ini tidak? Kita sebagai rakyat NTT merasa sangat kesal dengan kinerja DPRD NTT. Meskinya DPRD harus ambil langkah,” tegasnya. (mt/tim)