KELEDAI
      (Refleksi Minggu Palma)
                   Oleh
         Germanus S. Attawuwur



KUPANG, MT.NET - Hari terus bergulir pergi. Perlahan tapi pasti, datang dan pergi silih berganti, sesuai irama masanya. Tak terasa kita sedang berada di masa Minggu Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus yang oleh kita orang Katolik menyebutnya dengan Minggu Suci. Dan hari ini, adalah Minggu Palma. Minggu di mana menjadi moment sukacita, karena Yesus Disambut di Kota Yerusalem sebagai Raja.

Hari ini, ketika memasuki suasana sacral seperti begini, saya teringat Minggu Palma setahun silam. Aku terkenang Hari Raya Agung itu di dua tahun lampau. Memoriku terhanyut kembali ke masa kecil, saat-saat indah ketika bersama keluarga merayakan Minggu Palma di pelosok desa.
Aku segera terbangun dalam memori masa lampau dan sadar bahwa situasi lampau ternyata
bisa berubah di luar akal sehat anak manusia. Bahwa situasi kini bisa total berubah tanpa
seseorang terlebih dahulu memprediksinya, - Situasi kelam yang menimbulkan kerkah
bathin massal manusia sejagat -.
Karena itulah maka pada masa-masa kudus ini, orang-orang tak lagi hilir-mudik di halaman
gereja. Hiasan-hiasan gereja khas katolik seolah raib entah ke mana. Latihan-latihan koor
senyap seketika. Exultet – Madah Pujian Paskah – yang menjadi kabar sukacita Kristus
Bangkit, sepertinya larut dalam sunyi mendalam. Suana gereja sekitar jadi begitu lengang
bahkan sepi. Sepi Sekali. Gereja seolah tak bertuan.
Di saat seperti ini, ketika Gerbang Gereja masih terkunci rapat, Minggu Palma dirayakan.
Hari Agung dimuliakan. Dimuliakan dalam kesunyian. Lidah seolah keluh menyanyikan lagi Lagu Hosana Putra Daud.
“DI KALA YESUS DI SAMBUT DI GERBANG YERUSALEM” tak lagi berkumandang riuh. Hati pun
kian pedih. Perih terasa!!
Lagu-lagu khas Minggu Palma hari ini tak lagi berkumdang indah dalam Rumah Tuhan.
Tiada lagi arak-arakan dengan Palma di tangan. Tiada lagi lautan manusia. Hari ini, suka tidak suka, mau tidak mau, setuju tidak setuju, virus covid-19 “memaksa” kita harus kembali ke dalam rumah kita, untuk Ibadat di Rumah. Rumah hari ini menjadi sebegitu pentingnya bukan saja karena ada pemanusiawian manusia di sana melainkan juga adalah gereja mini, untuk bersujud-syukur di hadapan Allah Sang Raja. Di dalam gereja mini ini masing-masing kita masuk lebih dalam lagi dalam ke dalaman diri sendiri untuk membasuh kaki, menguduskan diri, menyucikan hati, guna menciptakan saat teduh - keheningan agung -
sebagai syarat untuk merayakan Minggu Palma.

Saat teduh itu tercipta untuk merenungkan kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mrk.
11:1-10; Mat.21:1-9: Luk. 19:29-40, Yoh. 12:12-15). Dalam keheningan itu, saya coba
menghidupkan kembali kisah 2020 tahun yang lalu, Di KalaYesus Masuk Kota Yerusalem.

Saya membayangkan dalam balada perjalanan Yesus. Yesus sedang berjalang bersama
murid-murid-Nya. Perjalanan jauh itu meletihkan; karena itu mereka berhenti sejenak.
Kemudian, Yesus menyuruh dua murid-Nya:” Pergilah ke kampung yang di depan itu: …
Lepaskanlah keledai itu dan bawalah kemari (Luk.19:30). Dan jika ada orang bertanya
kepadamu: mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini:” Tuhan memerlukannya
(Luk.19:31). Adegan selanjutnya yang saya bayangkan adalah seperti dinarasikan oleh
Penginjil Lukas (19:32-44).

Saya tinggalkan olah pikir di atas. Lalu segera masuk dalam ziarah bathin. Olah pikir berubah jadi olah hati untuk membuat sebuah refleksi ke-kini-an. Mengapa keledai? Mengapa bukan kuda? Atau agar terlihat gagah perkasa, mengapa tidak unta saja? Mengapa harus  keledai? Bukankah keledai itu binatang bodoh, maka tidaklah heran orang seringkali katakan
bahwa siapa yang berbuat kesalahan yang sama, dia ibarat keledai? Masa Yesus yang adalah Raja, bahkan Raja Maha Raja, rela naik pada punggung binatang bodoh itu? Tidak tahukah Yesus Sang Raja? Kuda di tempat itu sedang ke mana? Unta binatang padang gurun itu tiada di sana? Keledai, oleh manusia dianggap bodoh ternyata di mata Yesus, dia punya pesan moral tinggi.
Keledai binatang piaraan yang jinak. Ia punya perangai baik.Tidak bertabiat jahat. Ia
terkesan binatang lugu dan polos. Ia binatang patuh, ia bukan binatang bandel, apalagi
pembangkang. Mudah dikendalikan, tanpa harus gunakan kekang untuk mengendalikannya.
Maka, ketika Yesus memilih untuk menunggangi keledai, sejatinya adalah tamparan Yesus kepada kita yang tidak patuh. Ketika Yesus dengan sadar memilih keledai, Yesus sedang mengeritik kemunafikan kita, Yesus sedang menguliti keangkuhan kita, karena yang sering kali terjadi adalah apa kataku, - apa kata kita - bukan apa kata Yesus. Maka ketika Yesus menyuruh murid-murid-Nya, Dia langsung mengajarkan,”Bila ada yang tanya, jawablah begini.”

Jawablah begini, artinya jawab menurut apa yang diajarkan Yesus. Kita diwajibkan untuk katakan menurut apa Yesus. Acapkali yang kita katakan adalah apa kata kita. Dan kata kita kadang bermakna ganda. Kata kita bisa ditafsir politis, bahkan acapkali berbunga dusta. Maka keledai lugu dan polos, adalah kritikan kepada kita, bahwa kita musti lugu dan polos,tidakboleh membangkang. Harus turuti kata Yesus. Karena firman Yesus adalah demi kebaikan. Karena sabda Yesus adalah untuk keselamatan.

Tetapi faktanya, kita malah berlaku sebagai “penulis injil baru,” menulis kata-kata kita sendiri di atas lekak lekuk garis kehidupan kita, sampai lupa pada apa yang dikatakan Yesus. Kadang kita berani-beraninya menaruh kata-kata kita pada mulut Yesus dan begitu berapi-api berkotbah, seolah-olah apa kata Yesus. Lebih parah lagi, kita bahkan menjungkirbalikan

Firman-Nya, dan menggantikannya dengan firman kita bahkan ketika kita sedang tercengkram oleh situasi yang tak bersahabat ini, kita juga masih suka melawan, tidak patuh, yang pada gilirannya menjadimanusia pembangkang. Membangang bahkan membelakangi firman-Nya. Maka, begitu Hari Agung ini dirayakan, Yesus sebenarnya mengajarkan kepada kita:” Belajarlah dari Keledai itu.” Binatang yang bodoh di mata 
manusia, malah oleh Yesus, disuruh untuk belajar daripadanya, belajar dari binatang yang membawanya masuk ke kota Yerusalem.

Bila kita sudah berhasil belajar dari keledai itu, maka kita sudah menjadi manusia baru beriman terbarukan. Iman terbarukan, karena walau dalam situasi genting ini, di kala dunia sedang berdukacita oleh hantaman virus yang mematikan ini, iman kita diuji dan terus diuji. Ibarat emas, diuji dalam tanur api, dia akan semakin berkwailtas; demikian pula iman, ketika dicoba dalam badai virus covid-19, dia menjadi iman yang semakin terbarukan. Iman yang terbarukan adalah iman yang sudah dimurnikan. Dimurnikan tatkala kita melakukan retret agung di rumah selama badai ini belum berlalu. Iman terbarukan adalah iman yang penuh optimistis, bahwa habis gelap terbitlah terang. Imanterbarukan adalah iman penuh pengharapan, bahwa badai pasti segera berlalu!! Akhirnya, Iman terbarukan adalah iman yang penuh keyakinan bahwa Kristus Sang Raja selalu merajai hati kita. Selamat Merayakan 
Minggu Palem.***

Iklan

Iklan