COVID-19 BADAI ITU, PASTI BERLALU!
(Suatu Catatan Reflektif)
Oleh Vinsens Hayon – Penyuluh Agama Katolik

KUPANG, MT.NET - ADA banyak cerita, diskusi, pembahasan dan berita berkaitan dengan Corona Virus Disease, 2019/ Covid-19, sejak merebaknya di akhir  tahun 2019 sampai dengan detik ini, April 2020.Kisahnya, start dari biasa-biasa akhirnya luar biasa, dari menyedihkan,
menakutkan,menggelisahkan sampai pada kisah tentang kematian. Ada juga kisah tentang kesembuhan
(kehidupan), tentang kesepian, kelengangan, karantina mandiri sampai kepada perintah lockdown. Dalam situasi lockdown itu lahirlah kisah lanjut tentang kesendirian, keheningan sampai pada doa
tapa dalam harapan yang tiada berujung.

Covid-19 adalah wabah penyakit mematikan, bahkan ingin membumihanguskan manusia
sehingga manusia pada level dunia, pada level Negara, pada level provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, Kelurahan, Desa, RT/RW, lingkungan keluarga dan pribadi, mawas diri. Yang sehat mengunci diri, menjaga jarak, tidak kumpul, tidak bersentuhan fisik bahkan tidak ada doa secara bersama atau aktivitas liturgy bersama di luar keluarga. Yang sedang gejala sakit memeriksakan diri ke pihak kesehatan. Yang terpapar covid-19, dirawat intensif dan yang harus berpulang ke haribaan Pemilik Alam ini, dikebumikan tanpa ucap pisah terakhir.Covid-19 secarastatistik bergerak maju atau bergerak naik. Kurva pada tabel tentang Covid-19 meningkat tajam. Ia start dari angka rendah menuju angka tertinggi. Dari Fuhan-Cina, satu kota saja menyebar ke beberapa kota, kemudian beberapa negara dan akhirnya mendunia.

Kurva pada table covid-19 seakan mencapai angka peningkatan sempurna; dari angka, sedikit di atas nol menuju angka di bawah angka 100. Hanya masih tersisa beberapa angka di bawah angka
100. Realita sisa ini berarti masih ada “Angka pengharapan.” Angka pengharapan itu terinci sebagai berikut; ada pengharapan untuk hidup dan untuk sembuh. Ada pengharapan untuk bersama berjuang melawan virus ini dan untuk merawat yang terpapar covid-19. Ada pengharapan untuk mencegahnya dan akhirnya menghilangkan covid-19 dari peredarannya di bumi tempat kita ada, hidup dan beraktivitas sosial, religius, ekonomi, politis dan lain lain.
Atas harapan ini ada himbauan dan perintah. Ada keputusan dan kebijakan yang didukung
inisiatif dan usaha solidaritas untuk menghadang dan mencegah Covid-19, dengan Stay at home, Social distance, Keep clean, Work from home, Doing School From Home/ Online, Keep Healthy
dan usaha solidaritas kreatif caritatis lainnya. Ada juga kewajiban yan harus ditaati demi mencegah penyebaran Covid-19, yakni dengan cuci tangan, konsumsi makanan sehat dan bervitamin, berjemur di matahari untuk meningkatkan imun tubuh, menggunakan masker.

Di ruang dan angka-angka harapan itu, tercatat satu point positif yang terus tumbuh, dan
harus tumbuh, adalah “keep praying.” “Tetaplah berdoa.” Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Yesus Kristus bagi kita” (bdk. 1 Tes. 5:17-18). Kesannya point harapan ini ini amat kontrakdiktif, tetapi itulah yang harus dan bisa kita lakukan.
“Keep praying”, sesungguhnya jadi kekuatan paling dasar, utama dan dasyat. Karena kita
sebagai manusia beriman percaya dan berharap hanya pada Tuhan untuk menolong kita bebas dari badai covid-19 ini. “Keep praying” menyadarkan kita, bahwa kita bukan “Homo Deus” manusia
yang mau jadi Tuhan, tetapi kita adalah “Homo Sapiens”, manusia bijak, yang sadar dan mengakui mdengan segenap akal budi, dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan bahwa Tuhan adalah
pemilik kehidupan dan segala sesuatu yang ada di bumi ini serta mengadakan dan melenyapkannya, termasuk melenyapkan covid-19.
Atas dasar kesadaran yang dipaparkan di atas dan didukung oleh harapan sejati dan sungguh manusiawi, serta dalam suatu kepastian lkeyakinan (iman), kita dihantar atau diajak untuk berpaling
kepada Tuhan, pencipta, asal dan tujuan hidup kita. Di hadapanNya kita berseru minta tolong, sebagaimana para murid ketika bersama Yesus dalam perahu yang sedang diterpa badai - taufan kk%dasyat dan mematikan. Ketika dalam situasi badai/taufan yang dapat membinasakan bahkan mematikan, para murid
sangat polos, dan sungguh manusiawi, berseru minta tolong pada Yesus; “Tuhan, tolonglah, kita binasa”. Kita akan binasa oleh badai-taufan, di danau ini, (bdk. Mat 8:23-27). Apa jawab Yesus atas seruan minta tolong dari para muridNya? Jawaban Yesus bernada peduli dan memang Tuhan peduli kepada para muridNya dan siapa saja yang ada dalam perahu itu. Peduli Yesu“Ia bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu; “Diam! Tenanglah !” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali (Bdk. Mrk. 4:35-41). Para murid diselamatkan. Sampai pada titik ini, kisah para murid dan Yesus dalam perahu yang dihantam badai/ taufan danau yang ganas, ditutup dengan kesimpulan, “Badai pasti berlalu”.

Kisah di atas melukiskan suatu harapan sejati; harapan akan pembebasan dari badai.
Harapan akan kehidupan. Harapan itu juga hendaknya menjadi harapan kita yang sedang dilanda badai covid-19. Kita harus seperti para murid, berseru, meminta kepada Yesus untuk “peduli.” Mengapa kita harus berlaku demikian, karena Yesus, Sang Guru telah mengajarkan dan meyakini
kita, bahwa “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh BapaKu yang di sorga” (Bdk. Mat 18:19-20).
Oleh karena itu marilah kita bersama dalam keluarga dan juga bersama seluruh keluarga di lingkungan, di RT/RW dan di belahan bumi lain yang sedang stay at home berkumpul secara
sendiri-sendiri se-keluarga, dan dalam nama Tuhan, meminta dalam satu ujud/niat, yakni “Tuhan jauhkan bahkan lenyapkan badai-wabah Covid-19 yang sedang melanda kami dan dunia kami.”

Mari bersegerahlah meminta, karena Tuhan ada di tengah kita. Tuhan ada bersama kita. Sabda Tuhan, bahwa “di mana dua atau tiga orang berkumpul atas namaKu, di situ, Aku berada di tengah-tengah mereka (Bdk. Mat 18:20). Karena itu “mintalah maka kamu akan diberi (bdk Mat.7:7).Yesus Tuhan selalu berada di tengah kita, berada bersama kita sebagaimana Ia ada berasama dengan para muridNya ketika perahu yang mereka tumpangi digoncang badai-taufan dan
gelombang yang dapat merenggut nyawa mereka.
Dalam realita hidup kita, mungkin sering kita kurang menyadari atau sengaja tidak
meyakini kehadiran Tuhan, karena dunia kita terlalu bising dengan aktivitas manusiawi dan dunia kita terlalu hening karena hanya fokus pada aktivitas jasmaniah. Mungkinkan ada yang TIDAK PEDULI bahwa Tuhan sedang hadir dalam setiap peristiwa hidup saban hari. Ada yang TIDAK PEDULI karena ada kecongkakan hati dan merasa “bisa sendiri” melakukan dan mengatasi
sesuatu tanpa Tuhan. Karena ego atau akuisme yang kuat, kita bertanya, “Apa perlu Tuhan dalam hidup saya ?” Pertanyaan ini menggarisbawahi, manusia ciptaan ingin jadi “Manusia Super,” yang siap menyaingi Allah dan Tuhan.

Saudara dan saudariku, saat ini kita sedang melockdown diri dan juga keluarga kita, karena
covid-19. Kita seakan diberi ruang yang luas dan waktu yang banyak untuk berkomunikasi dengan Pemilik alam ini dalam kesendirian, dalam keluarga kita masing-masing. Kita dengan situasi Lockdown ini, mau belajar dari kisah historys dan kisah spiritual yang dialami Nuh, Musa dan bani Israel ketika berada di Mesir, serta kisah Rasul Paulus dalam perjalan menuju Roma.
Pertama, Kisah Nuh. Nuh dan keluarganya harus melockdown dirinya dalam bahtera bersama segala yang ia sertakan menumpang pada bahterahnya. Karena hujan selama 40 hari dan 40 malam. Air yang menggenang selama 150 hari. Ia juga masih harus bersabar dan menambah masa lockdown selama 40 hari lagi karena keadaan belum kering. Ia menunggu 14 hari lagi barulah
turun ke darat. Total ia melockdown diri selama 244 hari atau kurang lebih 8 bulan dalam bahtera menanti hari pembebasan dari air bah. Nuh mengalami masa lockdown terpanjang sepanjang
sejarah manusia menurut versi Kitab Genesis. Ya, penantian pajang perlu dialami untuk gapai harapan, gapai pembebasan. Sikap Nuh adalah tidak mengeluh, Ia bertahan dalam kesabaran walau burung merpartitelah dikirim untuk mencek keadaan. Dalam situasi lockdown Nuh berpasrah kepada Allah. Ia hanya berharap pada perolongan Allah. Karena ia sadar bahwa Allah telang menyelamatkannya
dari air bah. Allah telah menjaga dan melindunginya selama amukan air bah. Dalam situasi lockdown ia percaya dan menyerahkan segala pergumulannya pada Allah yang ia percaya. Dalam penantian dan kesabaran yang panjang, dalam syukur dan doa diam, doa hening, doa tanpa kata, meditasi dan kontemplasi yang tinggi, Nuh akhirnya menemukan jawaban atas pembebasannya dari air bah. Allah menggantungkan busurnya di awan sebagai tanda pernjanjian pembebasan dari air bah. Allah tidak lagi memusnahkan umatNya. Atas kisah Nuh ini, diamini bahwa, harapan dan keyakinan satu-satunya sebagai kekuatan adalah “berharap pada Allah maka badai pasti berlalu.”
Kedua, Kisah Musa dan bani Israel di Mesir. Kisah historis ini membuktikan bahwa Allah
sangat menyayangi umatnya. Ia hadir dalam peristiwa-peristiwa kehidupan umatNya. Karena itu
UmatNya harus dibebaskan dari perbudakan Bangsa Mesir.

Perbudakan adalah wabah penyakit sosial. Untuk mencapai pembebasan dari wabah sosial ini Mereka harus melockdown diri di rumah mereka masing-masing pada saat wabah(=tulah) terakhir menimpa penduduk Mesir, “kematian anak sulung baik manusia maupun hewan”.
Dengan melockdown diri dan keluarga sepanjang malam, Kaum Israel yang siap dibebaskan dari wabah-tulah berada dalam siatuasi gelisah. Mereka juga ditimpa keheningan dalam kekawatiran dan dalam percaya. Didukung semangat dan motivasi akan janji dari Allah berkaitan dengan pembebasan dari wabah sosial berkaitan dengan perbudakan, mereka makan paskah dengan dasar kepercayaan dan harapan untuk “bebas dari wabaah sosial; perbudakan di Mesir.”
Stiausi lockdown Kaum Israel bernuansa suci, di mana mereka menantikan pembebasan atau paskah Tuhan dengan pujian-pujian, doa dan perjamuan sebagai ketetapan Paskah dari Tuhan.

Ketaatan untuk melockdown diri dan keluarga, kaum Israel terhindar dari wabah-tulah kematian. Wabah itu hanya menyerang mereka yang tidak melockdown diri dan keluarga Kaum Israel. Peristiwa melockdown diri dan keluarga sepanjang malam di Mesir ini, (bdk. Kej. 12:22)mau melukiskan bahwa Allah sangat memperhatikan umatNya dan Allah mendukung kebebasan
dari wabah sosial yang dialami Kaum Israel. Allah adalah Allah bagi kaum Israel yang percaya dan yang mampu melakukan Mukjizat. Waktu untuk bebas juga hanya datang dari Tuhan maka yang dituntut adalah ketaatan dan percaya. Setia terhadap ketaatan dan percaya, maka kaum Israel bebas dari wabah sosial perbudakan. Bagi Musa dan kaum Israel ungkapan terhadap pengalaman akan pembebasan, terukir pada kata-kata ini, “Badai pun berlalu.”
Ketiga, Kisah Paulus dalam perjalanan menuju Roma (bdk. Kis 27:14-44). Kisah ini dapat
dijadikan refleksi spiritual berkaitan realita kita dan realita dunia sekarang yang sedang dilanda covid-19 dan menegaskan bahwa “Badai pasti berlalu.” Kisah ringkasnya sebagai berikut, dalam perjalanan ke Roma, kapal yang ditumpangi Paulus dan penumpang lain diombang-ambingkan badai dan akhirnya terhampas badai dan karam di busung pasir di Pulau Malta. Sebelum karam dan selamat, seluruh penumpang kapal sebanyak 276 jiwa, termasuk Paulus dan tahanan lainya harus terlockdown selama 14 hari di atas kapal.

Mereka terlockdown karena angin badai dan dihempas gelombang di Laut Adria. Dalam situasi terisolasi itu, atas nasihat Paulus, semua mereka tetap tabah hati. Paulus tetap berserah diri pada Allah yang ia sembah, karena itu dalam suatu penglihatan, Allah menjanjikan keselamatan atau pembebsan dari badai. “Sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat” (Bdk. Kis 27:24) “bahkan tidak akan kehilangan sehelai pun rambut dari kepalamu” (Bdk. Kis. 22:34) .
Benarlah dalam situasi lockdown yang mengelisahkan dan mengerikan itu, mereka harusmenanggung beban dan merugi. Banyak muatan yang berguna harus dibuang ke laut, menahan lapar dan tidak makan apap-apa selama 14 hari. Yang tinggal hanyalah kepasrahan, saling memperhatikan dengan beri peneguhan atau memotivasi. Mereka harus tinggalkan keinginan pribadi untuk bersuka riah. Menahan diri untuk beberapa kesenangan dan harus melumpuhkan diri
dalam isolasi menyeramkan dan hanya berharap pada keselamatan yang datang dari Allah. Atas ketaatan dan percaya, penyerahan diri dan harapan yang kokoh pada Allah, mereka terselamatkan.
“Tuhan tidak pernah mengulur-ulur waktu untuk menolong mereka (Luk 18:6).
Kita dalam masa-masa sulit dan tegang ini, di mana sedang merebak covid-19, dapat belajar
dan melakukan sejauh bisa apa yang dialami dan terjadi pada diri Nuh, Musa dan Kaum Israel serta Rasul Paulus sesuai dengan konteks dunia dan keadaan kita sekarang. Jika kita bersama berjuang dan bersatu dalam kepasrahan kepada Tuhan, pasti “badai ini pasti berlalu”. Bersama kita bisa.***


Iklan

Iklan