Oleh : Yan
Mau, S. Fil
Diskursus
tentang demokrasi merupakan sebuah rubrik yang paling urgen dibicarakan dalam
kalangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Dalam berbagai kesempatan, baik
dalam dialog-dialog harian, seminar-seminar, surat-surat kabar dan media
elektronik, semuanya mengupas tuntas tentang realitas ini. Euforia publik ini
menjadi suatu perbincangan yang sangat “epidemis” dan signifikan. Dikatakan
demikian karena dalam beberapa waktu terakhir ini, dapat kita saksikan
berlangsungnya berbagai perkembangan sejarah besar. Beberapa fenomena sejarah
misalnya runtuhnya berbagai pemerintahan otoriter dan munculnya pemerintahan
yang mengagendakan demokratisasi, bertumbangnya negara-negara komunis yang
diikuti dengan tumbuhnya pemerintahan-pemerintahan baru yang lebih
pro-demokrasi. Berbagai perubahan mendasar ini telah mengakibatkan perubahan
dalam tatanan politik di negeri kita, baik secara prosedural maupun secara
substansial. Sepintas realitas ini mau menegaskan bahwa kehidupan perpolitikan
di negeri kita telah memasuki suatu babak baru. Babak baru inilah yang oleh
Benjamin Franklin menjulukinya sebagai “matahari terbit”.
Namun perjalanan
demokrasi yang sejatinya menjanjikan teragregasinya dan terakomodasinya
aspirasi dan kepentingan masyarakat seluas-luasnya pada level tertentu
dipertanyakan sekaligus diragukan keabsahannya. Skeptisisme terhadap demokrasi
ini lahir akibat proses berjalannya tidak sesuai dengan hakikat yang sesungguhnya.
Demokrasi justru menjadi sebuah boomerang yang pelaksanaannya sangat
kontradiktif. Para elite politik justru memanipulasi demokrasi demi kekuasaan
dan martabat. Bahkan disinyalir oleh banyak pengamat bahwa gerakan politik
identitas dan atau politik primordialisme banyak dipakai oleh para politisi dan
penguasa dalam tatanan demokrasi untuk mendapatkan kekuasaan. Menguatnya isu
politik identitas dalam ranah politik menjadi framing negatif kerena bertentangan dengan substansi demokrasi. Faktum
kemandekan ini semacam menjadi sebuah “pemerkosaan” terhadap identitas dan
hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Pembiaran realitas “kesakitan” ini akhirnya
menjadi semacam warisan di dalam kehidupan perpolitikan yang terus terdengar
gemanya hingga saat ini.
Demokrasi
: Paradoks Kedaulatan Rakyat
Rakyat
seharusnya berdaulat. Rakyat seharusnya memerintah diri sendiri tanpa
menyerahkan kekuasaannya kepada instansi lain manapun. Begitulah himbauan yang
melekat di dalam ajaran klasik tentang demokrasi. Bahwasanya demokrasi
merupakan suatu bentuk kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat. Abraham
Lincoln mendefenisikan demokrasi secara modern yakni “the government of the people, by the people and the people”
(pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Maka
paradoks demokrasi menekankan bahwa kekuasaan politik serta kekuasaan
legitimasi dalam menentukan jalannya sebuah pemerintahan ada di dalam
masyarakat. Karena itu sangatlah jelas bahwa demokrasi seharusnya menjadi spirit terbentuknya suatu negara yang di
dalamnya keadilan, kedamaian dan kemakmuran semua warga Negara menjadi tujuan
utama.
Berhadapan
dengan sistem demokrasi seperti ini, Jurgen Habermas berpendapat bahwa “in the proceduralist paradigm, the client of
welfare bureaucracies are filled by enfranchised citizens who participate in
political discourses in order to address violated interests and by articulating
new need” (dalam paradigma proseduralis, ruang yang ditinggalkan oleh partisipan-partisipan
dalam pasar ekonomi dan orang-orang yang terkait dengan birokrasi negara,
kesejahteraan diisi oleh warga Negara yang kritis dan juga berpartisipasi dalam
diskursus politik dalam rangkah untuk mengetengahkan kepentingan-kepentingan
mereka yang terlanggar dan dengan mengartikulasikan kepentingan serta kebutuhan
baru). Menurut Habermas, dalam konteksnya dengan masyarakat Indonesia yang
multikultural, hal ini harus dilihat dalam bentuk ruang publik politis yang
sehat, dalam arti bebas dan kritis. Artinya bahwa, kedaulatan rakyat dalam
masyarakat multikultural, diidentikkan dengan kondisi-kondisi komunikasi yang
membuka kesempatan bagi semua masyarakat untuk membentuk opini dan kehendak
bersama yang dirumuskan secara diskursif sehingga kemudian dapat
mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan baru masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu,
paradoks demokrasi menjadi sendi terpenting yang gencar diperjuangkan oleh
segenap masyarakat sebagai landasan dari tata sosial demi terciptanya keadilan,
kedamaian dan kemakmuran seluruh waga negara. Presentasi demokrasi barangkali
ditawarkan sebagai tesis baru yang ingin
mendasarkan diri pada prinsip-prinsip asasi berupa penghormatan atas
nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, munculnya demokrasi merupakan
resistensi sadar manusia atas proses dehumanisasi oleh sentralisasi kekuasaan.
Demokrasi sejatinya menghendaki adanya distribusi kekuasaan sehingga kekuasaan
berjalan di atas sendi-sendi kemanusiaan dan dijalankan oleh manusia yang
berakal budi. Ini berarti bahwa dalam demokrasi hak setiap masyarakat untuk
hidup adil, damai dan makmur menjadi
fondasi utamanya.
Politik
Primordialisme : Sebuah “Pemerkosaan” Demokrasi
Aktualisasi
demokrasi di negeri kita barangkali masih terus dipertanyakan. Realitas menunjukkan
bahwa sistem politik dalam demokrasi masih belum sesuai dengan prospek yang
sesungguhnya. Salah satu masalah yang muncul dalam dinamika berdemokrasi adalah
lahirnya isu politik primordialisme yang mana isu ini lebih terikat pada
persamaan etnis, aliran, ikatan darah dan berbagai bentuk sifat kedaerahan
lainnya. Robuskha dan Shepsle mengartikan isu politik primordialisme dengan
loyalitas yang berlebihan terhadap budaya, sub-nasional seperti suku bangsa,
agama, ras, kedaerahan dan keluarga. Dalam kaca mata Habermas, suasana ini
adalah suatu distorsi komunikasi, yakni kanal-kanal komunikasi yang seharusnya
berjalan lancar tersumbat oleh berbagai lobi-lobi, kompromi yang dipaksakan,
antara kepentingan politik dan ekonomis. Para elite politik yang pada dasarnya
sebagai penentu prioritas pembangunan justru tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Akibatnya faktum kemiskinan, penderitaan, disintegritas,
dehumanisasi dan kemandekan terus “bermain” dalam situasi hidup masyarakat
kecil.
Politik
primordialisme kerap dijadikan magnet penarik simpati pemilih dan senjata untuk
menjegal lawan pada kontestasi politik elektoral. Menyeret sentiment politik primordial
ke dalam arus politik adalah salah kaprah yang akan membawa kita pada pusaran
konflik. Memproduksi sentiment negatif untuk melakukan penolakan kepada
seseorang atau mempersuasi pemilih dalam arena politik atau urusan publik
semata berdasarkan ras, suku, bangsa, agama, mayoritas-minoritas adalah
tindakan pembodohan. Indonesia sebagai Negara berbasis Bhineka Tunggal Ika
menjamin persamaan hak setiap warga negara. Maka jelaslah bahwa bila politik
primordialisme dibiarkan, nilai demokrasi secara perlahan tereduksi dari
substansinya.
Demokrasi
Konsosiasional
Kebangkitan
politik identitas dan atau politik primordialisme dalam perpolitikan di
Indonesia membutuhkan suatu pencermatan yang amat serius. Sebab bila realitas
ini dibiarkan, akan terjadi gesekan dan pertentangan yang berimbas kerukunan
dan kedamaian di Indonesia. Kerangka konseptual yang bisa ditawarkan dalam
mengatasi rivalitas dan konflik di tengah menguatnya politik identitas dan atau
politik primordialisme adalah apa yang disebut oleh Arend Lijphart (1977)
sebagai consociational democracy. Hal
ini pun ditegaskan oleh ilmuan Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken
bahwasanya demokrasi konsosiasional dapat mengurangi atau sekaligus
menghilangkan konflik identitas dan masalah politik primordialisme, sebab
demokrasi konsosiasional mengharapkan
berbagai kelompok etnis dalam suatu Negara saling merembes secara territorial
dan genetika.
Ada tiga prasyarat menurut Lijphart
dalam mempraktekkan demokrasi konsosiasional dalam ranah politik. Pertama, kemampuan dan kemauan untuk
mengakui bahaya-bahaya instabilitas yang merupakan inheren dalam masyarakat yang
tingkat fragmentasi dan polarisasi sosialnya tinggi. Kedua, memerlukan adanya komitmen untuk memelihara nation state yang ada. Artinya para
tokoh masyarakat harus mempunyai keinginan untuk mencegah adanya kemungkinan
disintegrasi daerah. Ketiga, kemampuan
untuk mengangkat persoalan antar sub kultur masing-masing cleavages ke tingkat yang lebih tinggi. Model demokrasi
konsosiasional dapat membuka kebekuan dan sekat-sekat politik primordialisme
yang sedang marak di ranah perpolitikan. Pengadopsian demokrasi konsosiasional
akan mengikis pandangan oposisi biner yang selama ini dijalankan oleh para
elite politik dalam menggapai kekuasaan bisa diminimalisir. Dengan demikian,
kehadiran demokrasi konsosiasional menuntut setiap warga negara untuk mampu
tanggap dalam menyikapi situasi kebangsaan, terutama atas situasi yang rawan
potensi konflik, disintegrasi, dehumanisasi, kemelaratan, kemiskinan dan
penderitaan yang lahir dari dalam tatanan demokrasi yang belum teragregasi terakomodasi
sesuai prospek yang sesungguhnya dapat disudahi.