Marianus Minggo
Ketua LSM YTL Entete
Ketika keterbukaan informasi kini kian merajalela dan kebebasan berpendapat yang dijamin dalam UUD ’1945 semakin lepas bebas di ruang publik membuat setiap tindakan keputusan para pemimpin mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah tak terlepas dari pantauan rakyat. Rakyat semakin kritis dan berani melihat dan menilai para pemimpinnya, bahkan berani mengungkapkan pendapat sebagai bagian dari pengawasannya. Sikap rakyat ini ditambah lagi dengan tersediannya kemajuan IT yang super canggih, yang digunakanya sebagai media ruang publik untuk berucap dalam nada koreksi yang menggelitik rasa nan emosional atau memberi spirit moril kepada kepemimpinan pemimpin. Betapa tidak ! Sebagaimana dapat terbaca dalam ciutan-ciutan di media sosial, seperti Facebook, WhatSapp, Twitter, Instrgram, Linked dan sejenis lainnya.
Semangat Publik Mengawasi Pemimpin
Di NTT keterlibatan masyarakat dalam berpendapat terhadap pemimpinnya pun tak sedikit jumlahnya bila diperhatikan pada laman media sosial. Kekritisan dan keberanian mengukangpkan sesuatu akan sikap atau tindakan terhadap pemimpin ini merupakan input positif yang harus ditempatkan oleh kaum pemimpin kita di wilayah provinsi ini. Ungkapan atau ciutan masyarakat itu, seperti soal kebijakan, out put kebijakan, rencana program, realisasi program dan capaian atau hasil yang berdampak terhadap masyarakat.
Sikap masyarakat nampak demikian menunjukkan, adanya kesadaran masyarakat akan jabatan yang disandang seorang kepala daerah sebagai pemimpin rakyat. Masyarakat itu mengetahui dan insaf, bahwa kedudukan kepala daerah itu lahir melalui proses demokrajsi, yaitu pemilu atau pilkada. Event demokrasi ini melibatkan partisipasi rakyat sendiri. Karena itu keterlibatannya turut melahirkan atau menghadirkan pemimpin. Atau kita bisa sebut pemimpin yang lahir dari rakyat. Lahir dari rakyat maka sepantasnya rakyat mengawasi dan menilainya. Apabila pemimpin itu tidak mampu membawa transformasi kepentingan publik yang proporsional maka tak heran ketakpuasan rakyat menguak berwujud dalam media-media sosial yang ada.
Ketakpuasan rakyat mulai terasa ketika pemimpin-pemimpin terpilih itu dalam melakukan penataan internal kelembagaannya di kantor, pembenahan dan penempatan birokrasi, bahkan sampai pada kebijakan implemantasi programnya yang terkesan tak berimbang dan berpihak pada rakyat. Fenomena realita ini yang membuat penulis menyoroti persoalan kepemimpinan untuk direfleksikan oleh Pemimpin NTT dalam topik, “Kepemimpinan Proporsional Melihat Rakyat Kebanyakan.”
Berpikir dan Bertindak Proporsional
Setiap undang-undang dan peraturan di NKRI pada bagian umum bab pertama, kata proporsional/proporsionalitas ditempatkan bersama beberapa kata lain seperti jujur, kepentingan umum, adil, tertib, kepastian hukum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efektif dan efisiensi sebagai asas atau prinsip yang mengikat bagi para pemimpin atau penyelenggara negara dan pemerintahan. Deretan asas atau prinsip tersebut merupakan jantung kekuatan kehidupan bagi kaum pemimpin dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab terhadap masyarakat. Pada posisi ini jika kepala daerah selalu teguh menjiwai asas-asas ini, jelas kualitas kepemimpinannya memiliki kepantasan kesuksesan sebagai pemimpin rakyat.
Dalam hal asas proporsionalitas kepemimpinan Kepala Daerah kita di provinsi NTT perlu mendapat perhatian serius untuk terealisasinya visi,misi dan programnya. Sebab ada gejala yang terjadi akibat ruang undang-undang yang memberikan hak dan wewenang khusus, namun boleh dibilang sangatlah kurang bijaksana tindakan yang dilakukan sebab kurang memperhatikan asas proporsional. Ini menimbulkan issue sosial pada tanya, mengapa keputusan demikian? Issue pada tanya itu kini berlarut dalam waktu, dan terasa mulai terkuak dengan rasa antipati yang menggerayang merambat bak virus. Seperti contoh, bila kita membaca dan mencoba mendalami setiap status di media sosial, Face Book misalnya yang menyoroti kebijakan berkaitan dengan soal kepemimpinan pemimpin NTT sekarang. Ada terbesit sikap antipati rakyat terhadap kepala daerah yang terkesan cerminan kepemimpinannya jauh dari pertimbangan dan tindakan proporsional. Ada status komentar netizen melihat gaya kepemimpinan yang ditampilkan belum menjawabi apa yang menjadi harapan mereka sesuai visi dan misi kampanyenya. Reformasi birokrasi misalnya terkesan masih jauh, dan cendrung kepentingan sepihak. Bahayanya selain upaya pemberantasan korupsi sebagai trade merk program kerjanya, tapi unsur kolusi dan nepotisme tidak menjadi perhatian, atau terabaikan. Fatalnya lagi ada kreasi baru sebagai sebuah inovasi kebijakan Kepala Daerah yang memberi ruang kepada para tim suksesnya menjadi tim ahli pengembangan dan percepatan pembangunan NTT. Tim ahli itu terkesan pada publik sebagai think tank atau bumper yang mengintervensi kebijakan kepala daerah. Dari sudut pandang tertentu hal ini mungkin tidak masalah, tetapi menjadi masalah karena kelompok ini terkesan lebih fanatik kurang peduli terhadap asas proporsional kepluralitasan penduduk di wilayah NTT ini. Gaya kepemimpinan ini yang bakal melemahkan kepercayaan publik dan hilangnya kelanggengan keberadaan penerapan program kerjanya.
Memimpin Rakyat Kebanyakan
Baca dan insaflah fenomena suara rakyat di media sosial yang sering muncul sebagai masukan untuk berubah dalam menjalankan karir sebagai pemimpin rakyat kebanyakan. Rakyat kebanyakan dalam konteks ini adalah rakyat NTT yang berlatar belakang, berasal usul tak hanya satu atau dua kelompok. Rakyat NTT, rakyat beraneka ragam karena itu kalkulasi kebijakan proporsional amatlah penting. Issue seperti “habiskan, bersihkan" dari kelompok yang ditempatkan sebagai penakar dan ahli mendukung kerja pemimpin itu seharusnya kewenangannya terbatas. Kelompok orang-orang itu sepantasnya bukan dari kalangan yang telah berjasa saja yang gaya kerjanya penuh kasak-kusuk politik yang tak etis dan harmonis. Ini sesuatu yang keliru dan cepat atau lambat pengabaian terhadap asas proporsionalitas dalam memimpin daerah ini telah menjadi rapor tersendiri di hati rakyat NTT. Sebuah tantangan yang harus diatasi seorang pemimpin di tengah rakyat kebanyakan. Seorang pemimpin seharusnya sedikit hati-hati terhadap bisikan fanatisme konyol yang bisa saja menjatuhkan kualitas kepemimpinannya.**