"Dr. Mikhael Feka tegaskan hukum pidana harus dinamis, bukan alat kekuasaan. Kuliah umum STIKUM Kupang kupas KUHP baru dan keadilan restoratif."
Kupang – “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Kalimat itu ditegaskan Dr. Mikhael Feka, S.H., M.H., dalam kuliah umum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIKUM) Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Sabtu (13/9/2025). Ia menekankan bahwa hukum pidana dan sistem pemidanaan harus terus berkembang, mengikuti dinamika masyarakat, bukan menjadi alat kekuasaan semata.
Dalam kesempatan itu, Dr. Mikhael disambut hangat civitas akademika serta mahasiswa baru program S1, S2, dan S3 STIKUM. Ia tampil sebagai narasumber dengan tema “Perkembangan Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan di Indonesia.”
Dr. Mikhael menjelaskan secara mendalam bahwa hukum pidana pada dasarnya terdiri dari tiga unsur utama: perintah, larangan, dan sanksi. Ia bahkan menyinggung asal-usul hukum sejak kisah Adam dan Hawa dalam Kitab Kejadian, di mana Tuhan memberi perintah, menetapkan larangan, dan akhirnya menjatuhkan sanksi.
“Korupsi hari ini contohnya. Bukan karena kurang materi, tapi karena kurang bersyukur. Sama halnya dengan Adam dan Hawa, jatuh dalam dosa karena ketidakpuasan,” tegasnya, disambut riuh tepuk tangan.
Menurut Dr. Mikhael, tantangan besar yang dihadapi mahasiswa hukum saat ini adalah hadirnya KUHP baru yang mulai berlaku 2026. KUHP tersebut tidak hanya mengatur hukum tertulis, tetapi juga mengakui hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law).
“Selama ini hukum adat sering diabaikan. Perdamaian di masyarakat tidak menghapus pidana, hanya meringankan. Tetapi KUHP baru mengakui hukum adat sebagai sumber hukum setara dengan undang-undang,” jelasnya.
Ia mengingatkan mahasiswa agar tidak sekadar membaca pasal-pasal undang-undang, tetapi juga memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dalam kuliah umumnya, Dr. Mikhael juga menyinggung perjalanan sejarah hukum pidana. Dari masa kuno yang keras dengan asas lex talionis (mata ganti mata, gigi ganti gigi), hukum berkembang ke masa pertengahan yang sarat pengaruh gereja dan kerajaan absolut, hingga era modern yang mengedepankan keadilan restoratif.
“Hukum pidana itu paling buruk karena merampas hak dan kebebasan manusia. Tapi juga paling dirindukan ketika ada masalah. Oleh karena itu, hukum harus ditempatkan sebagai ultimum remedium – jalan terakhir, bukan satu-satunya cara,” jelasnya.
Restoratif justice, menurutnya, menjadi tren saat ini karena berorientasi pada pemulihan antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Menutup kuliahnya, Dr. Mikhael berpesan agar mahasiswa hukum tidak sekadar menjadi penghafal pasal, melainkan penggerak keadilan.
“Hukum jangan dijadikan alat kekuasaan. Tugas kita adalah memastikan hukum tegak lurus, bukan dipelintir. Kalau hukum hanya jadi alat politik, masyarakat yang akan menjadi korban,” pungkasnya. *(go)



