Ibadah Sejati, Melahirkan Etos Kerja

(Oleh: Saturlino Correia, S.Th., M.Pd)


Catatan Refleksi: - Tulisan ini merupakan refleksi atas Surat Paulus kepada Jemaat di Roma yang berbicara seputar “persembahan yang benar,” (Roma 12:1). Apakah hanya mungkin persembahan yang benar bagi orang kristiani berlangsung di gereja (rumah ibadah)? Realita sekularisasi, gaya hidup hedonis, individualis dan materialis masihkah memungkinkan saban minggu orang Kristiani berkumpul di sana untuk beribadah kepada Tuhan dan tentunya mempersembahkan seluruh diri, dharma bhakti, seluruh niat hati dan segala rencana hidupnya kepada Tuhan, Sang Penyelenggara Agung Kehidupan? 

Pertanyaan lanjutnya, “Jika hal-hal yang dilakukan itu adalah ibadah yang sejati kepada Sang Penyelenggara Kehidupan, apakah ibadah sejati itu harus dan hanya berlangsung di gereja, terutama pada setiap hari minggu? Apakah hanya di sana, Allah hadir? Atau dapatkah Allah dijumpai di  tempat mana saja dan kapan saja di setiap realita kehidupan? 


Jika jawaban atas pertanyaan terakhir di atas, “Tuhan tidak dijumpai lagi” maka pikiran Karl Marx tentang “Tuhan Sudah mati,” menjadi wabah yang sedang dan terus mewabah untuk medan spiritual manusia yang menamakan diri Kristiani. 


Kembali kepada konten bincang berkaitan dengan persembahan di rumah ibadah. Gedung gereja (rumah ibadah) memang ditahbiskan sebagai rumah Allah, sementara mimbar Sabda serta altar adalah tempat pemberitaan Firman Allah dan pelayanan sakramen -kurban sakramental-. Tetapi Suara alam bermadah seperti ini, “Langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Allah. Apalah pula gedung gereja yang ditahbiskan sebagai rumah Allah”. Allah melampaui segalanya (Tuhan atas hari, Tuhan atas tahun, Tuhan atas masa dan abad). Deus est omni presence (Allah itu serba hadir).


Allah adalah roh yang melingkupi segala sesuatu (the encompassing spirit). Karena itu ibadah yang sejati (yang utuh, yang total, yang benar, yang sesungguhnya, yang seharusnya, yang lengkap, dan yang tidak munafik) dapat berlangsung di semua tempat, dan di segala waktu.


Mengimani Allah sebagai Yang Serba Hadir (omni presence) beresiko pada hidup setiap orang kristiani, bahwa hidup dan perilaku seseorang dimanapun berada dalam konteks the Presence of God, merupakan  ibadah -Ibadah yang sejati. Dengan demikian ibadah dicirikan dan  terdiri dari dua jilid, yaitu di mimbar/ altar gereja, dan di medan karya atau di medan bhakti kita. Kata lainnya ada ibadah secara ritual-formal dan ada ibadah praksis -keseharian-. Kedua jilid ibadah ini, baik ritual-formal dan praktek-keseharian merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dielpas-pisahkan satu dari yang lain. Jika terpisahkan maka ibadah menjadi tidak lengkap dan utuh, bukanlah ibadah yang sejati.


Memisahkan ibadah ritual-formal dari ibadah praktek -keseharin- adalah sebuah pelecehan ibadah sejati itu sendiri. Demikian halnya melakukan ibadah ritual-formal tanpa dilanjutkan dengan ibadah praksis -keseharian adalah sebuah kemunafikan, nonsense sebagai orang percaya.


Ibadah yang sejati dalam konteks biblis adalah mempersembahkan seluruh (diri) tubuh dari telapak kaki sampai ujung rambut kepada kehendak Allah. Katakan mempersembahkan totalitas hidup dari rahim ibu kandung sampai ke rahim ibu pertiwi (dari lahir sampai mati).


Johanis Calvin menggarisbawahi tesis ini, “semua karya atau profesi (yang digeluti) adalah panggilan. Seluruh dunia adalah biara, semua tempat adalah mimbar/altar, setiap orang adalah imam/ hamba Tuhan. Setiap insan/ orang menunaikan panggilan Allah melalui pekerjaan masing-masing sebagai imam/ hamba Tuhan”. Seluruh karya/ pekerjaan manusia menjadi doa dan atau ibadah. 


Doa dan ibadah (ora et labora), Apa hubungannya? Hubungannya terletak dalam pernyataan ini, “Berdoa adalah bekerja yang tidak kelihatan dan bekerja adalah berdoa yang kelihatan”.


Dalam konteks kehidupan nyata analoginya dapat seperti ini, “Seorang pedagang tidak lebih rendah daripada imam/ hamba Tuhan. Bekerja di duniamusaha tidak lebih hinadaripada lingkungan gereja.” Sama maknanya bahwa “Bekejra tidak kurang mulia dibandngkan berdoa”.Karena itu bidang pekerjaan apapun -bertani, mengajar, memerintah, bisnis, bisa menjadi panggilan yang sah dari Allah, dan sama kudusnya/sucinya seperti melayani sebagai seorang pendeta/ hamba Tuhan.


Ada tiga istilah Yunani untuk ibadah, yaitu: Latreia, Douleuein, dan Litourgia. Ketiga istilah ini menunjuk pada arti yang sama yakni pelayanan (pekerjaan) yang dilakukan oleh rakyat, baik dalam arti religious maupun sosial, seluas ruang lingkup hidup manusia. Kaitannya dengan Ibadah maka merupakan kehidupan yang dipentaskan dalam panggung seluas-luasnya, yang berlangsung di semua tempat dan sepanjang waktu. 


Calvin juga mengungkapkan, bahwa dunia ini adalah “panggung kemuliaan Allah”. Dunia ini adalah cermin “Kabod YHWH.” Karena itu, penghuni dunia ini yang adalah ciptaan Allah, terutama manusia haruslah memperlihatkan kemuliaan Allah baik dalam cara hidup (modus vivendi), maupun dalam cara kerja (modus operandi)

Karena itu, tidak cukup kita hanya mengatakan, saya mau pergi ke gereja untuk beribadah kepada Tuhan, tetapi kita juga harus mengatakan bahwa, saya mau pergi ke tempat kerja, ke kantor, ke sekolah dan lain-lain untuk beribadah kepada Tuhan.


Hendaknya setiap kita mengatakan pada diri kita sendiri: Saya mau ke tempat kerja untuk beribadah kepada Tuhan. Di sinilah letak “resonansi spiritual” yang akan mewarnai seluruh kinerja dan etos kerja lahir pada konteks ini.


Katakan dan afirmasikan pada diri sendiri sebagai credo murni dan jujur kepada Allah bahwa “Saya adalah hamba Allah. Tempat dan ruang kerja/ kantor saya ini adalah rumah Allah. Meja kerja saya adalah mimbar/altar Allah untuk memberitakan Firman Allah dan pelayanan sakramen  (tanda keselamatan yang datang dari Allah). Maka selanjutnya setiap hari kerja; hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu adalah hari Tuhan. Hari untuk mempersembahkan seluruh perbuatan baik, amal bhakti dan seluruh diri kepada kepada Allah. Semua yang kita lakukan adalah “Soli Deo Gloria”.


Dalam realita dunia hari-hari ini hendaknya kita mulai sadar dan terus berbenah diri memajukan aktivitas ibadah yang sejati untuk diri kita, keluarga kita dan lingkungan kita. Kita tidak berhenti berjuang di era digitalisasi ini  menghindari apa yang disebut orang Jepang sebagai “Hakikikomori”. Ini sebuah fenomena sosial yang berkembang dan yakin terus melanda kaum remaja dan kelompok dewasa muda yang menarik diri dari kehidupan sosial dan mengisolasi diri dalam rumah bahkan kamar tanpa kontak fisik sosial. “Hakikikomori” siap merambat ke Korea dan belahan dunia lain dan dapat mematikan gerak maju dan praktek “Ibadah sejati”. ***Editor: Al Hayon

Iklan

Iklan