SISI LAIN DARI SIDANG ETIK PENYELENGGARA PEMILU SIKKA

Kupang,mutiaratimur.net

                                                              Oleh:
                                               Germanus S. Attawuwur
                                               Ketua LBH Pemilu NTT

1. Pengantar

           Pemilu 2019 sudah berakhir. Hasil Pemilu 17 April 2019 telah dilantik.  Namun pemilu serentak itu masih meninggalkan jejak-jejaknya. Jejak yang patut ditelusuri, apalagi terkait dengan sepak terjang penyelenggara pemilu. Adalah Amandus Ratason, Caleg No Urut 3 PKB dari Dapil II Sikka. Selasa tanggal 3 Desember 2019 beliau menemui Ketua LBH Pemilu NTT. Dia membawa serta dua orang temannya. Satu adalah saksi yang akan memberikan kesaksian pada sidang DKPP hari Rabu tanggal 4 Desember 2019. Sedangkan yang lainnya adalah wartawan salah satu media online yang sudah mengawal kasus ini sejak dari awal. Bersama kedua temannya, beliau hendak meminta “bantuan hukum” untuk didampingi dalam “beracara” pada sidang DKPP. Mereka membawa serta sebuah koper yang berisi bukti-bukti.

  Amandus, (mohon maaf, si tangan puntung) tahu  ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemilu NTT. Lembaga ini didirikan bersama dengan ketiga teman mantan pengawas pemilu: Rofinus Kopong Teron, SH, Drs. Yohanes Pari dan Ester Sagajoka, M.Pd. Lembaga ini memiliki Akta Pendirian bernomor 14, tanggal 10 Mei 2019 dan Tercatat di Pengadilan Negeri Kupang, tanggal 12 Mei 2019. Salah satu tujuannya adalah  mengadvokasi para calon peserta pemilu di dalam dan / atau di luar sidang, baik sidang di lembaga peradilan  maupun sidang  ajudikasi non litigasi pada lembagapenyelenggara Pemilu. Maka tanpa karena dikejar waktu, saya langsung mempelajari perkara tersebut.

  Setelah mempelajari kasus itu, saya sungguh-sungguh  merasa tertarik untuk mendampingi saudara ini. Menariknya adalah bahwa kasus ini melibatkan para penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu Kabupaten Sikka sebagai pihak teradu/terlapor. Saya coba mempelajari pokok aduannya.”Para Teradu dari KPU Kabupaten Sikka diadukan karena diduga melanggar asas jujur, adil dan kepastian hukum dengan mengabaikan prosedur perbaikan dan atau pembetulan saat Pleno Rekapitulasi di tingkat KPU Kabupaten Sikka khususnya terhadap dokumen hasil rekapitulasi PPK Hewokloang meski terdapat fakta penggelembungan suara.Sementara itu, Teradu dari Bawaslu Kabupaten Sikka diduga telah mengabaikan prosedur untuk melakukan pencegahan dan penindakan segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, khususnya terkait dugaan penggelembungan suara oleh PPK Hewokloang dan Panwascam Hewokloang pada saat Pleno Rekapitulasi PPK Hewokloang dan saat Pleno Hasil Rekapitulasi PPK Hewokloang di Tingkat KPU Kabupaten Sikka.”

2. Tidak hanya pelanggaran asas pemilu

              Amandus memilih untuk mengadukan persoalan ini ke DKPP karena lembaga ini memiliki kewenangan konstitusional untuk menyidangkan perkara ini. DKPP menyidangkan kasus ini karena menurutnya, KPU dan Bawaslu Sikka melanggar asas-asas pemilu.

              Ketika saya  mempelajari uraian kejadiannya, ternyata tata cara pembetulan yang dilakukan oleh PPK Kecamatan Hewokloang dengan memakai tip ex / pemutih itu sama sekali bertentangan dengan Pasal 53 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019. Pemakaian Pemutih untuk pembetulan pun menabrak aturan KPU Nomor 4 Tahun 2018, Pasal 5. Menurut keberatan para saksi partai politik waktu itu, mustinya ketika menemukan fakta yang tak terbantahkan bahwa ada 20 TPS yang diberi tip ex muka belakang pada dokumen C-1 Plano dan DAA!, KPU harus menghentikan pleno untuk melakukan perbaikan. Namun KPU Sikka terus melakukan perhitungan sampai bahkan menetapkan pemenang peserta pemilu dan mempersilahkan para saksi menuliskan keberatannya pada formulir DB1.

             Sedangkan menurut pelapor, Bawaslu Sikka tidak menindaklanjuti laporannya pada tanggal 4 Mei 2019. Bawaslu Sikka baru menindaklanjuti laporannya yang disampaikan pada tanggal 10 Mei 2019. Bila membaca kronologi peristiwanya, maka kuat dugaan bahwa Bawaslu Sikka tidak serius menyelesaikan penanganan pelanggarannya. Faktanya, pelapor tidak diberikan format laporan yang sesuai dengan peraturan Bawaslu, dalam proses pemeriksaan permintaan Bawaslu untuk melengkapi bukti baru dilakukan pada hari yang ke-33 sejak peristiwa itu dilaporkan; padahal menurut UU Nomor 7 Tahun 2017, limitasi waktu untuk menyelesaikan sebuah laporan dugaan pelanggaran hanya 21 hari. Anehnya, setelah menerima bukti yang diminta dari pelapor, langsung dibuat pengumuman laporan penyelesaian dugaan pelanggaran dengan status dihentikan. Lebih aneh lagi adalah, penerapan pasal yang disangkakan oleh Bawaslu Sikka tidak sesuai dengan substansi laporan.

            Atas fakta-fakta itu, oleh pelapor mengkategorikan pelanggaran etika, khusus   asas-asas pemilu yakni jujur dan adil. Namun setelah saya mempelajari dengan cermat uraian peristiwa yang dilaporkan, menurut saya, dugaan pelanggaran etika tidak saja pada pelanggaran asas pemilu melainkan juga melanggar sumpah jabatan dan prinsip-prinsip pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, di sana terbaca sepenggal sumpah jabatan KPU ialah: ” Demi Allah .., bahwa saya dalam menjalankan tugas dan wewenang akan bekerja dengan sungguh sungguh jujur adil dan cermat."  Sedangkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang dilanggar baik oleh KPU dan Bawslu Sikka adalah  jujur, adil, berkepastian hukum, akuntabel dan profesional.

3. Pidana Pemilu, Sisi Lain dari     Sidang DKPP

            Bila laporan pelapor dicermati lebih jauh, maka dapat disimpulkan bahwa substansi yang diadukan oleh pelapor adalah penggelembuangan suara dengan modus memberikan tip ex / pemutih pada dokumen C 1  plano dan BAA1. Dan tindakan ini sebenarnya juga adalah perbuatan pidana pemilu. Maka dari itu pelapor melaporkan dugaan pelanggaran itu. Namun sayangnya, karena Bawaslu tidak bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil dan cermat maka Bawaslu Sikka pura-pura gagal paham sehingga secara tidak cermat menerapkan pasal 551  dalam kasus ini dengan menerapkan pasal sangkaan yang jauh dari substansi laporan.  Modus penggelembungan suara dilakukan dengan cara: Mengurangi angka perolehan suarapartai politik (suara yang berasal dari coblosan tanda gambar/nama/nomor urut parpol) atau menghilangkan angka perolehan suara partaipolitik tertentu pada dokumen C1 Plano,

  1. Mengurangi angka perolehan suara calon legislatif atau menghilangkan angka perolehan suara calon legislatif tertentu pada Dokumen C1 Plano,
  2. Mengurangi atau menghilangkan angka suara tidak sah pada C1 Plano,
  3. Menambahkan / mengalihkan semua angka perolehan suara yang dikurangi atau dihilangkan (poin 1,2,3) tersebut di atas ,untuk calon nomor urut 1 PKB atas nama Yosep Don Bosko.
  4. Penambahan angka perolehan suara pada caleg Yosep Don Bosko ini berdampak juga pada peningkatan suara untuk Partai Kebangkitan Bangsa.Maka perolehan suaran Caleg Yosep Don Bosco sesuai C1 adalah hanya 1244 suara.digelembungkan sebanyak 161 suara sehingga dia memperoleh 1405 suara. Sedangkan pelapor mendapat perolehan suara : 1349 suara.

          Jika Bawaslu Sikka tidak berlaku pura-pura gagal paham, maka pasal yang harus diterapkan adalah Pasal 532 UU No.7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa:” setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.”

        Namun aneh bin ajaib! Bawaslu Sikka malah menggunakan Pasal 551 yang mengatur tentang hilangnya atau berubahnya berita acara rekapitulasi  hasil  penghitungan suara.
Bila saja, kasus ini tidak masuk dalam “kasus istimewa” karena proses pemilu sudah berakhir, maka pelapor akan melaporkan  Bawaslu dengan menggunakan Pasal 543, yang mengatur  bahwa : ”setiap anggota Bawaslu Kabupaten yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan / atau laporan pelnggaran pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda Rp 24 juta. “
Jadi, bila KPU dan Bawaslu Kabupaten Sikka bekerja dengan jujur, adil, profesional maka seharusnya, saudara Amandus ditetapkan oleh KPU Sikka sebagai Calon DPRD Terpilih.

4. Mahkota Pemilu Ambruk di Tangan Penyelenggara Pemilu

            Suara Rakyat yang tercatat  dalam Model C1 dan  C 1 Plano adalah Suara Tuhan sendiri. Vox populi vox dei. Kalau suara Tuhan maka amat sakral. Musti dilindungi. Harus benar-benar dijaga. Oleh pegiat pemilu, suara rakyat disebut Mahkota Pemilu. Sebagai mahkota pemilu tentu harus dijaga, tidak boleh ada yang mencurinya. Tidak boleh ada yang menghancurkannya. Namun ironisnya, Mahkota Pemilu dalam kasus ini justru ambruk di tangan penyelenggara pemilu sendiri.  Mahkota itu luluh di bawah integritas penyelenggara yang sudah sangat diragukan.
         
           Korbannya adalah Amandus, si puntung tangan. Dalam keterbatasan fisiknya ia harus berjuang demi untuk mengembalikan mahkota itu. Ia sedang menunggu, mungkinkah dewi keadilan akan berpihak kepadanya? Seperti apakah sanksi yang bakal diterima pecundang demokrasi ini?
Namun ia tahu, apapun putusan DKPP tidak berpengaruh secara politis untuk dilakukannya Pergantian Antar Waktu, kecuali pimpinan partai melihat kasus ini hanya dengan kacamata nurani.  Tetapi baginya, perjuangan untuk menegakan kembali kedaulatan rakyat  adalah misi tunggalnya. Dia berjuang untuk demokrasi di Hewakloang yang sudah tersalib oleh tabiat oportunistik penyelenggara pemilu.  Ia tidak sedang berjuang untuk kepentingan pribadinya. ***

Iklan

Iklan